Kesalku sudah tembus ubun-ubun, mungkin berasap. Pasalnya kabel udara optik dan listrik semakin ramai semrawut malang-melintang di depan rumah. Tepatnya di Gang Sapi (pseudonim), Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Masalahnya kabel-kabel itu mulai menembusi tajuk pepohonan di pekarangan. Itu artinya aku harus memangkas reranting pohon-pohonku lagi. Kasihan itu pepohonan diamputasi melulu.
Duapuluh lima tahun lalu, waktu keluargaku mulai bermukim di Gang Sapi, udara depan rumah belum terlalu ramai dengan kabel-kabelan. Seingatku hanya ada kabel listrik dan telepon.Â
Dalam perjalanan waktu, seiring perkembangan teknologi informasi, tanpa kusadari jumlah kabel itu bertambah terus. Selain kabel listrik dan telepon, bermunculan kabel-kabel berbagai provider internet dan televisi kabel (berbayar).
Masalahnya para pemilik kabel itu tak pernah mempertimbangkan eksistensi pohon-pohon di depan rumah. Mereka tak perduli pohon tumbuh terus hingga tajuknya akan melingkup kabel-kabel udara.
Itu bisa jadi masalah. Pertumbuhan cabang dan ranting bisa saja mendorong kabel. Hingga suatu ketika kabel itu menjadi tegang lalu putus. Atau goyangan hot tajuk pohon tertiup angin kencang bisa saja menggesek kabel sampai rusak.
Dalam kasus seperti itu, mana yang harus dipersalahkan, pohon atau kabel? Atau, siapa yang harus disalahkan, pemilik pohon atau pemilik kabel?
Aku gak paham bagaimana peraturan atau hukumnya. Tapi aku paling malas berselisih paham dengan korporasi. Dugaanku secara hukum pemilik kabel itu pasti menang, karena kabelnya merentang di jalur atau ruang publik. Sedangkan tajuk pohonku menjajah ke ruang publik.
Karena itu dengan masjgul aku berinisiatif memangkas cabang dan reranting pohonku sendiri, sebelum perkara muncul.
Mungkin aku terlalu baper atau lebay, entahlah. Sebab pemilik pohon bisbul di samping rumah, dan pemilik pohon jambu air di seberang rumah, cuek-cuek saja membiarkan kabel-kabel itu terperangkap di dalam tajuk pohon miliknya. Yah, lain aku lain tetanggalah.
Bahkan ada tindakanku yang lebih ekstrim. Delapan tahun lalu pohon mangga golek yang rajin dan pintar berbuah terpaksa kubunuh. Sebabnya aku malas setiap saat harus memangkas rerantingnya agar tak mengganggu rentang kabel-kabelan. Khawatir berujung perkara.
Pohon mangga itu kemudian kuganti dengan pohon jambu air. Masalahnya tetap sama. Tajuknya mengancam eksistensi kabel. Terpaksalah rerantingnya kuamputasi. Sebentar lagi mungkin akan kutebas juga. Untung bagi pohon jambu itu, aku belum tega melakukannya.
Pohon pandan Bali, nah, ini yang bikin pusing. Tajuknya sudah mengangkat kabel-kabel. Sampai hari ini, aku belum menemukan cara untuk memangkasnya tanpa risiko menarik putus kabel-kabel itu. Jadi untuk sementara ini, aku pura-pura cuek saja macam tetangga. Walau hati risau.
Aku ingin bertanya kepada Pak Heru. Pj. Gubernur Jakarta, mana yang harus dimenangkan di kota Jakarta? Kabel terhadap pohon, atau pohon terhadap kabel?Â
Ini bukan cuma persoalan di depan rumah kami, lho. Di jalanan Jakarta kulihat banyak juga ranting pepohonan diamputasi agar kabel-kabel udara aman membentang. Sedih rasanya menyaksikan pohon dikalahkan terhadap kabel.Â
Coba lihat udara Jakarta hari ini. Ada dua jenis polusi di sana. Pertama, polusi debu dan asap yang mengabu, merusak saluran pernafasan, sampai-sampai Pak Jokowi batuk-batuk.
Kedua, polusi kabel-kabel udara, baik itu kabel listrik dan terutama kabel-kabel informasi dan komunikasi. Bukan hanya pating-sliwer mengganggu pemandangan, atau menjerat leher orang lewat. Kabel-kabel itu juga minta previlese jalur bebas hambatan, dengan cara memangkas tajuk pepohonan yang menghambat.
Masalahnya, pohon berfungsi membantu mencuci udara Jakarta dari polutan. Tapi kabel-kabel udara yang sebenarnya juga polutan itu justru memberangus sebagian tajuk pepohonan.Â
Itu kan ironis. Polutan dibiarkan memusnahkan sebagian pembersih polutan. Itulah ironi Jakarta yang hari ini mulai WFH dan SFH lagi, demi menekan polusi.
Jika kuingat betapa jahat kabel-kabel itu terhadap pohon dan udara Jakarta, maka di saat itulah amarahku muncrat ke ubun-ubun. Apalagi saat memancung reranting pohon di depan rumah, ingin rasanya golok She Tan milikku kutebaskan ke rentangan kabel-kabel sialan itu.
Adalah lebih baik hidup tanpa kabel ketimbang tanpa pohon.
Pak Gubernur, tolonglah bikin peraturan daerah yang memenangkan pohon terhadap kabel-kabel udara di Jakarta.Â
Bagi seorang gubernur Jakarta dulu, menebas ratusan pohon di Monas, trotoar, dan lintasan kabel udara mungkin bukan masalah besar. Tapi bagiku menebang sebatang pohon yang kurawat sejak kecil di pekarangan, hanya demi eksistensi kabel, adalah masalah besar. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H