Bahkan ada tindakanku yang lebih ekstrim. Delapan tahun lalu pohon mangga golek yang rajin dan pintar berbuah terpaksa kubunuh. Sebabnya aku malas setiap saat harus memangkas rerantingnya agar tak mengganggu rentang kabel-kabelan. Khawatir berujung perkara.
Pohon mangga itu kemudian kuganti dengan pohon jambu air. Masalahnya tetap sama. Tajuknya mengancam eksistensi kabel. Terpaksalah rerantingnya kuamputasi. Sebentar lagi mungkin akan kutebas juga. Untung bagi pohon jambu itu, aku belum tega melakukannya.
Pohon pandan Bali, nah, ini yang bikin pusing. Tajuknya sudah mengangkat kabel-kabel. Sampai hari ini, aku belum menemukan cara untuk memangkasnya tanpa risiko menarik putus kabel-kabel itu. Jadi untuk sementara ini, aku pura-pura cuek saja macam tetangga. Walau hati risau.
Aku ingin bertanya kepada Pak Heru. Pj. Gubernur Jakarta, mana yang harus dimenangkan di kota Jakarta? Kabel terhadap pohon, atau pohon terhadap kabel?Â
Ini bukan cuma persoalan di depan rumah kami, lho. Di jalanan Jakarta kulihat banyak juga ranting pepohonan diamputasi agar kabel-kabel udara aman membentang. Sedih rasanya menyaksikan pohon dikalahkan terhadap kabel.Â
Coba lihat udara Jakarta hari ini. Ada dua jenis polusi di sana. Pertama, polusi debu dan asap yang mengabu, merusak saluran pernafasan, sampai-sampai Pak Jokowi batuk-batuk.
Kedua, polusi kabel-kabel udara, baik itu kabel listrik dan terutama kabel-kabel informasi dan komunikasi. Bukan hanya pating-sliwer mengganggu pemandangan, atau menjerat leher orang lewat. Kabel-kabel itu juga minta previlese jalur bebas hambatan, dengan cara memangkas tajuk pepohonan yang menghambat.
Masalahnya, pohon berfungsi membantu mencuci udara Jakarta dari polutan. Tapi kabel-kabel udara yang sebenarnya juga polutan itu justru memberangus sebagian tajuk pepohonan.Â