Gang Sapi itu semacam "gurun pasir" di belahan kidul Jakarta. Maksudku perilakunya.Â
Sekarang sepi, tetiba selang sekejap sudah muncul tumpukan ibu-ibu begosip.Â
Sepi lagi, eh, mendadak muncul tumpukan bapak-bapak dan jomlowan tua sibuk menghitung ibu-ibu dan gadis-gadis berlalu.Â
Atau tiba-tiba ramai kumpulan bocah berlarian ke sana kemari tanpa garis start dan finish.
Begitu juga pagi ini. Kemarin sore ruas gang depan rumah masih bersih hitam mulus aspal hotmix kelas empat. Eh, tadi subuh tetiba sudah ada jalur lomba-lomba tujuhbelasan tergurat di permukaannya.
Walah. Andai kutahu tengah malam tadi Bandung Bondowoso mampir di Gang Sapi bikin jalur lomba dan rumbai-rumbai merah-putih, pasti aku keluar rumah. Sekadar minta selfie, gitu.
Sambil terheran-heran, aku berpikir, kenapa dari tahun ke tahun jalur lomba-lomba memeriahkan  17 Agustus selalu muncul dengan pola serupa di Gang Sapi.Â
Pasti juga dengan jenis-jenis lomba yang serupa. Balap karung, balap kelereng, balap balon, makan kerupuk, dan mancing botol. Pesertanya juga sama, anak-anak. Dengan hadiah-hadiah yang juga sama: alat tulis-menulis.Â
Juga dengan kemeriahan yang sama. Tawa gembira, sorak-sorai, dan teriakan penyemangat yang sama. Orangnya juga sama, cuma berubah usianya, tambah setahun.
Apakah tidak bosan dengan acara yang gitu lagi gitu lagi? Tanyaku dalam hati.