Penjelasannya begini. Hula-hula harus dihormati karena ialah sumber karunia bagi boru. Dongan tubu harus diperlakukan baik karena dialah sumber kekuatan sosial.  Boru harus dikasihi  karena dialah penolong utama bagi hula-hula.
Jika keluarga Poltak misalnya memusuhi hula-hula, dongan tubu, dan borunya, maka keluarganya akan terisolasi secara sosial di dalam komunitas DNT-nya. Artinya, tidak akan ada kerabat yang perduli pada keluarganya atau, lebih buruk lagi, dianggap tidak ada.
Huta
Huta, kampung, adalah satuan otonom terkecil domisili atau pemukiman orang Batak Toba. Sebagai wujud persatuan Batak, orang Batak kemudian membentuk federasi huta yang disebut horja, dan federasi horja yang disebut bius.
Sebuah bius dipimpin oleh seorang pendeta raja yang padanya turun sahala harajaon, karunia roh kekuasaan. Pendeta raja karena itu bersifat dinasti, turun-temurun.Â
Secara historis ada tiga bius utama dan pertama di Tanah Batak Toba. Bius Sianjurmulamula, sekarang di Kecamatan Sianjurmulamula Samosir, dengan pendeta raja Jonggimanaor (Limbong); Bius Baligeraja, sekarang di Kecamatan Balige Toba dengan pendeta raja Sorimangaraja (kemungkinan marga turunan Sibagotnipogan); Bius Urat, sekarang di Kecamatan Palipi Samosir, dengan pendeta raja Paltiraja (Sinaga).
Kendati bersatu dalam horja ataupun bius, huta pada dasarnya tetap otonom. Huta dibuka dan dipimpin oleh seorang marga raja, yang menjadi raja huta (patrilineal) secara turun-temurun. Pada seorang raja huta melekat wewenang pemerintahan, pengadilan, dan penguasaan tanah yang disebut golat, tanah milik marga raja.
Penghuni huta tentu saja bukan hanya kelompok marga raja. Lazim juga marga boru yang dulu diajak membuka huta, disebut boru ni huta, tinggal di situ.Â
Bahkan kepadanya lazim diberikan sebidang tanah untuk membuka huta sendiri. Penghuni lainnya adalah parripe, pendatang yang bukan bagian dari marga raja ataupun marga boru.
Sebuah huta lazimnya dibuka di suatu lembah, entah itu di sekitar pantai Danau Toba atau di kawasan yang lebih tinggi seperti Humbang dan Silindung. Pilihan lembah itu dimaksudkan untuk kepentingan membuka sawah. Sebab sebuah lembah lazim dialiri oleh sebuah sungai, sumber irigasi sawah.
Dengan demikian, orang Batak Toba dikenal sebagai komunitas pesawah lembah. Inti budayanya (cultural core) adalah sawah, seperti halnya orang Jawa. Itu sebabnya tahun 1910-an pemerintah kolonial Belanda mengajak sejumlah orang Batak Toba pindah ke daerah Simalungun untuk membuka sawah di sana.
Di luar sawah, ada juga mata pencaharian sekunder. Ada  porlak (kebun belakang rumah), darat (ladang, huma), harangan (hutan), dan tao (danau) untuk perikanan khusus di huta-huta pantai. Di sejumlah desa ada juga kerajinan tenun ulos dan anyaman (rotan dan mendong).