Secara stereotip, orang Batak Toba lebih dikenal sebagai pemakan anjing yang rakus ketimbang sebagai pemiara anjing yang baik. Tapi itu salah kaprah etnosentris.Â
Dalam budaya Batak Toba, anjing piaraan pada mulanya hanya memiliki fungsi produksi, sebagai penjaga sekaligus teman dan rekan berburu hewan liar.
Fungsi konsumsi, sebagai makanan, muncul kemudian karena alasan yang belum jelas sejauh ini. Sebab rada mustahil orang Batak tempo dulu memakan anjing di tengah kelimpahan hewan buruan seperti babi hutan, rusa, dan kijang. Harus ada alasan lain untuk menjelaskan itu.
Tinimbang sekadar bahan makanan daging, secara kultural, orang Batak Toba sejatinya lebih mementingkan fungsi produktif anjing piaraan. Karena itu fungsi tersebutlah yang akan didiskusikan lebih dulu di sini. Fenomena orang Batak makan daging anjing dibahas setelah itu.
***
Belum diketahui secara pasti sejak kapan anjing masuk ke dalam budaya Batak Toba. Barangkali saja sejak komunitas-komunitas pertama orang Batak Toba menduduki Tanah Batak sekitar abad ke-11.
Tarombo (cerita lisan silsilah) marga Pardosi misalnya sudah menyebut soal pantang makan daging anjing belang. Pardosi itu generasi ke-18 dihitung dari Si raja Batak. Artinya anjing sudah ada di tengah orang Batak Toba pada abad ke-15 atau 450 tahun sejak kehadiran komunitas Batak pertama di Sianjurmulamula, Samosir.
Sudah pasti orang Batak pertama pemiara anjing bukanlah Pardosi, leluhur marga Pardosi. Generasi sebelumnya bisa diduga sudah memelihara anjing juga.Â
Sedikit menyimpang ke masyarakat Batak Karo. Leluhur marga Sembiring di sana menurut tarombo sudah berinteraksi dengan anjing pada tahun 1300-an atau abad ke-14. Jadi kuat dugaan Batak Toba di wilayah selatan Tanah Karo juga sudah memiara anjing pada abad-14 atau sebelumnya.
Hendak dikatakan di sini, "pertemuan" orang Batak Toba dan anjing sudah terjadi nyaris sejaj sejarah etnis Batak Toba dimulai. Bisa diduga pula anjing yang dikenal orang Batak adalah anjing jinak (Canis lupus familiaris), bukan serigala (Canis lupus) karena spesies ini tidak ada di Indonesia.
Secara historis, orang Batak Toba memiara anjing untuk menjalankan fungsi-fungsi produktif yaitu sebagai penjaga dan pemburu. Selain, tentu saja, "teman" bagi keluarga.
Sebagai penjaga, anjing diberi tanggung-jawab luas. Mulai dari menjaga anggota keluarga, rumah dan harta benda milik keluarga, sampai sebuah perkampungan.Â
Lazim dari dulu orang Batak pergi ke sawah, ladang, dan hutan ditemani anjingnya. Selain menjadi teman, anjing juga akan menjaga tuannya dari ancaman bahaya. Semisal ada ancaman orang jahat atau binatang buas seperti ular, beruang, atau harimau.
Anjing juga bisa membantu tuannya menjaga ladang dari pencuri. Entah itu manusia maling hasil ladang, atau binatang hama seperti monyet dan babi hutan.
Di rumah, anjing orang Batak adalah penjaga rumah dan seisinya. Sekaligus juga penjaga kampung dan seisinya. Terutama menjaga dari ulah orang jahat, seperti perampok, pencuri ternak atau penculik anak. Dahulu kala kerap terjadi penculikan anak kecil oleh orang dari kampung lain untuk dijadikan tumbal.
Kalau ada orang asing masuk ke sebuah kampung, entah siang atau malam hari, maka anjinglah yang pertama menyambutnya. Jenis gonggongan anjing akan menandai apakah yang datang itu orang baik-baik, orang jahat, binatang liar, atau hantu. Sehingga warga kampung bisa melakukan antisipasi bila perlu.
Berburu hewan liar bersama anjing, sudah menjadi kegiatan produksi bagi orang Batak sejak dulu. Dokumen tertua yang bisa saya temukan terkait kegiatan itu di masa lalu adalah foto tahun 1870 (lihat foto utama artikel ini). Foto koleksi Tropenmuseum itu menampaklan tiga orang Batak pemburu dan seekor anjingnya.
Sebagai pemburu, orang Batak memang sangat mengandalkan anjing. Ketajaman penciuman dan pendengarannya bisa diandalkan untuk menemukan posisi hewan buruan.Â
Entah itu rusa, kijang, babi hutan, atau kelinci liar. Kecepatan lari dan keberaniannya yang penuh perhitungan bisa diandalkan untuk mengejar, mengepung, dan membekuk hewan buruan.Â
Orang Batak Toba, para lelakinya, lazimnya berburu dalam rombongan bertiga atau berlima. Jumlah anjingnya bisa lima sampai sepuluh ekor. Mereka akan masuk ke hutan pinus atau hutan sekunder untuk memburu hewan pedaging. Kehadiran pemburu itu ditandai oleh teriakan khas para pemburu dan salak anjing-anjing mereka.Â
Tapi ada juga pemburu solo dengan tiga atau empat ekor anjing. Saya punya kenangan khusus di Panatapan (pseudonim) dengan pemburu solo asal kampung tetangga awal 1970-an. Kebetulan kami sedang panen padi di sawah waktu itu.
Menjelang tengah hari, dari hutan pinus di sebelah barat persawahan tiba-tiba terdengar teriakan dan salak anjing bersahut-sahutan. Tanda anjing-anjing pemburu itu sedang mengejar babi hutan. Teriakan dan salak anjing-anjing itu terdengar semakin mendekat ke arah persawahan.
Mendadak anjing betina piaraan kami, Leki namanya, melompat dan berlari kencang ke arah tebat di selatan persawahan. Belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, kami menyaksikan Leki menggigit tengkuk seekor babi hutan di dalam air tebat. Babi hutan itu susah payah berenang ke tepian. Tapi di sana empat ekor anjing pemburu sudah siap menerkamnya. Lalu menyusul pemburu solo itu datang dan menancapkan tombaknya persis di jantung babi itu. Tamatlah riwayatnya.
Sebagai balas jasa Si Leki, anjing kami mendapat sepotong hati babi hutan itu dan kami, tuannya, mendapat satu paha depan lengkap dengan kakinya. Itu rezeki kami pada hari itu berkat kesigapan dan keberanian Leki membekuk babi hutan buruan tetangga kampung.
Dahulu kala kegiatan berburu dilakukan orang Batak untuk pemenuhan konsumsi daging. Lazimnya kegiatan itu dilakukan sekelompok lelaki dewasa setelah mendapat petunjuk hari baik dari tetua kampung yang pintar maniti ari, melihat hari baik dan buruk.Â
Ada hari-hari baik untuk berburu dengan peluang besar mendapat hewan buruan. Nantinya daging hewan buruan itu dibagikan kepada keluarga-keluarga sekampung.
Tapi dengan bertumbuhnya ekonomi uang, terutama sejak era kolonial di awal abad-20, kegiatan berburu untuk sebagian dimaksudkan juga untuk tujuan komersil. Daging hewan buruan dijual ke pasar. Atau kadang juga habis dibeli oleh warga kampung-kampung yang dilintasi sepulang berburu.
***
Dari hewan penjaga dan pemburu merangkap teman, bagaimana ceritanya kok anjing bisa menjadi hewan pedaging bagi orang Batak Toba?Â
Sejauh ini belum diketahui secara pasti sejak kapan daging anjing masuk ke dalam budaya makan orang Batak Toba. Tapi beberapa zendeling RMG (Protestan) melaporkan orang Batak sudah makan daging anjing pada saat mereka tiba di sana. Itu berarti tahun 1863 ke atas.
Itu termasuk kebiasaan makan yang ingin diubah oleh para zendeling sejak awal karya evangelisasinya di Tanah Batak. Tapi tak berhasil sampai hari ini.Â
Dokumen tertua terkait konsumsi daging anjing oleh orang Batak yang dapat saya temukan adalah foto tahun 1917. Foto koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda itu menampakkan pasar daging anjing di pantai Danau Toba, Balige. Tampak sebagian penjual mengangkat kepala anjing yang telah dibakar.Â
Jadi kebiasaan orang Batak makan daging anjing memang bukan hal baru. Penelusuran informasi di situs-situs internet mengantar saya pada kesimpulan kebiasaan itu sudah ada sejak era animisme/dinamisme Batak Toba. Era kepercayaan pada roh-roh makhluk hidup dan benda mati.
Orang Batak penganut animisme/dinamisme tempo dulu percaya bahwa kekuatan roh manusia berbeda-beda. Roh penguasa lebih kuat dibanding roh warga biasa. Roh budak paling lemah. Di kalangan hewan, roh harimau dan anjing dipercaya paling kuat.
Orang Batak dulu percaya bahwa kekuatan roh dapat melemah dan dapat pula diperkuat dengan cara isi ulang (recharge). Caranya antara lain dengan makan daging anjing. Sebabnya anjing dianggap tangkas, kuat, cepat, dan berani.Â
Makan daging anjing dipercaya bisa meningkatkan kekuatan roh manusia. Semisal dia seorang hulubalang, maka dia akan menjadi lebih tangkas dan berani dalam perang.
Keyakinan itu bertahan sampai hari ini kendati orang Batak sudah menganut agama Kristiani. Hanya saja istilahnya kini daging anjing bukan ""penguat roh" lagi tapi "penghangat badan". Katanya, makan daging anjing bikin tubuh jadi hangat, terutama daging anjing hitam.Â
Saya tidak tahu persis apakah benar makan daging anjing bisa bikin tubuh hangat -- satu hal yang dibutuhkan di Tanah Batak yang dingin. Sebab saya sendiri baru satu kali makan daging anjing. Itu dulu pada awal 1980-an, karena ditantang rekan orang Flores untuk membuktikan diri sebagai orang Batak yang "makan anjing". Dungu sekali, memang, tapi ya sudahlah.
Walau bukan lauk sehari-hari, orang Batak kini dimungkinkan makan daging anjing tiap hari. Seseorang tinggal pergi makan ke lapo-lapo, kedai makan khas orang Batak yang menyajikan lauk B1 (biang, anjing).Â
Lapo semacam itu selalu bisa ditemukan di berbagai kota atau daerah di Indonesia yang ada komunitas Batak Tobanya. Penandanya, jika ada gereja HKBP, maka di sekitar situ kemungkinan besar ada lapo B1 dan B2 (babi).
Mungkin bukan sesuatu yang patut dibanggakan tapi jelas kini pasar daging anjing telah berkembang sebagai segmen khusus. Lapo-lapo B1 tidak memiara anjing untuk dipotong tapu ada pemasok yang menyediakannya. Bahkan di sejumlah pasar atau kampung di Tanah Batak sana ada tempat khusus penjualan daging anjing siap olah. Bukan pemandangan yang nyaman bagi kelompok pecinta hewan, tentu saja.
***
Barangkali pemiaraan anjing bagi orang Batak Toba adalah sesuatu yang "gampang saja" (effortless). Nyaris tanpa biaya karena tidak perlu bikin rumahnya, membelikan makanan khusus anjing, pemeliharaan kesehatan dan kecantikan/kegantengan, rekreasi, olahraga, dan "sekolah".Â
Pengalaman keluargaku memelihara anjing dulu tahun 1970-an enteng-enteng saja. Anjing pertama kami namanya Leki, lalu suksesornya Bleki. Keduanya sama berbulu hitam. Keduanya tak perlu rumah atau kandang. Anjing orang Batak itu tidur di teras atau di kolong rumah. Jadi ada batas yang tegas antara domein manusia dan domein anjing.Â
Tak adalah itu anjing kampung di Tanah Batak tidur seranjang dengan tuannya. Atau duduk sesofa dan leyeh-leyeh bersama sambil nonton drakor di TV.
Makanan anjing kami juga dulu tak spesial. Mereka kami beri makan nasi dengan lauk kepala ikan atau belulang daging ayam dan babi kalau kebetulan ada. Kalau anjing kami perlu makan daging, dia bisa pergi menangkap tikus ke kebun, sawah, atau ladang. Jangan salah pula, di beberapa tempat di Tanah Batak warga makan daging tikus juga.Â
Jadi bagi orang Batak biaya memiara anjing itu rendah. Tapi manfaatnya besar sebagai teman, penjaga, dan rekan berburu. Itu sesuai hukum ekonomi "pengeluaran sekecil-kecilnya untuk mendapat manfaat sebesar-besarnya.
Akhirnya satu hal perlu menjadi renungan bagi orang Batak Toba, termasuk saya sendiri. Betul kini makan daging anjing sudah menjadi bagian dari budaya makan orang Batak. Menu saksang B1 mungkin sudah menjadi salah satu kuliner khas Batak. Tapi apakah konsumsi daging anjing itu, secara kultural, baik diteruskan?
Di atas sudah ditunjukkan bahwa anjing dalam perspektif budaya Batak Toba adalah "teman" yang menjaga dan membantu cari makan. Jadi bila orang Batak makan daging anjing, bukankah itu semacam fenomena "teman makan teman"? Lantas, apakah hal itu pantas dilestarikan?
Horas! Horas! Horas! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H