Berikanlah kepada manusia apa yang menjadi hak manusia dan kepada anjing apa yang menjadi hak anjing.
Anjing terkenal sangat setia kepada tuannya. Bahkan bisa lebih setia dibanding suami terhadap istrinya atau istri terhadap suaminya. 2
Banyak kisah kesetiaan anjing yang telah diceritakan sejak dulu. Kisah Hachiko (1923-1935) adalah salah satu yang paling mengharukan. Anjing ras Akita ini setia setiap sore selama hampir 10 tahun menanti kepulangan Prof. Hidesaburo Ueno, tuannya yang telah meninggal dunia, di stasiun kereta api Shibuya, Jepang. Hanya kematiannya yang bisa menghentikan penantian itu.Â
Dalam khasanah film, ada binatang film Rin-Tin-Tin (1918 – 1932), seekor anjing Gembala Jerman yang terkenal sangat setia dan cerdas. Juga ada binatang film televisi Lassie, seekor anjing Rough Collie yang juga setia dan cerdas.
Hachiko, Rin-Tin-Tin, dan Lasie itu hanya untuk menyebut tiga dari banyak anjing dengan kisah kesetiaan, kecerdasan, dan kepahlawanan. Cerita-cerita semacam itu kini dengan mudah bisa diakses di  YouTube dan TikTok.
Perilaku setia, cerdas, dan melindungi pada anjing itu membuat tuannya menyayanginya sebagai anggota keluarga sendiri. Kebutuhan primernya, yaitu pakan, sandang, dan kandang, dipenuhi secara berkelimpahan. Termasuk di sini pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan anjing.
Begitupun dengan pemenuhan kebutuhan sekunder/tersiernya. Semisal salon anjing, rekreasi di taman bermain anjing, dan hangout di restoran khusus anjing. Termasuk di sini rumah kremasi atau taman pemakaman anjing saat hewan itu mati.
Jangan tanya berapa biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder/tersier seekor anjing. Upah minimum regional DKI Jakarta lewat jauh. Sehingga kalau dihitung dari segi pendapatan per kapita, mayoritas buruh/pekerja di Jakarta jauh lebih miskin dibanding seekor anjing.Â
Tentu saja kita sedang bicara tentang anjing-anjing piaraan orang kaya Jakarta di sini. Bukan tentang anjing-anjing "proletar" di pinggiran kota atau anjing-anjing "gelandangan" di gang-gang kota.
Ekpresi rasa sayang pemilik pada anjingnya memang kerap bikin geleng-geleng kepala. Baru-baru ini di  YouTube ada konten ritual pemakaman seekor anjing bernama Snowee yang dilakukan seperti pemakaman manusia. Ikatan afeksi yang intens antara anjing dengan tuannya, mungkin menjadi alasan di baliknya.  Tapi bagiku itu tetap saja berlebihan. .Â
Lain soal bila seekor anjing K9 kepolisian yang mati. Sudah ada aturan pengormatan secara kedinasan untuknya. Â Misalnya kematian Archie, anjing K9 Archie milik Polda Sulselctahun 2020. Dia mendapat kehormatan berupa upacara pemakaman secara kedinasan. Jasanya sangat besar antara lain dalam pencarian korban-korban gempa/tsunami/likuifaksi di Palu (2018) Â dan tanah longsor di Gowa (2019).
Sampai di situ, khalayak masih mahfum soal ekspresi rasa sayang dan penghormatan pada anjing. Sejauh itu tak menyinggung perasaan dan atau martabat kemanusiaan seseorang atau sekelompok orang.
Tapi kasus ritual perkawinan Luna dan Jojo, dua ekor anjing Alaskan Malamute, di PIK baru-baru ini telah menuai reaksi ketersinggungan dari individu-individu dan kelompok-kelompok etnis Jawa. Pasalnya ritual perkawinan mewah berbiaya Rp 200 juta, dengan 100 orang panitia, itu menggunakan adat perkawinan Jawa.Â
Tentu bisa dimengerti, tapi tak mesti disepakati, ritual perkawinan anjing itu adalah wujud ekspresi rasa sayang kedua pemilik, Â Valentina Cahandra dan Indira Ratnasari, terhadap anjing masing-masing.Â
Tapi tak urung timbul pertanyaan menggelitik. Apakah perkawinan dua ekor anjing pantas digelar dengan adat Jawa? Tidakkah itu suatu tindakan merendahkan atau menista budaya Jawa, khususnya adat perkawinan?
***
Sebaik-baiknya perilaku seekor anjing tetaplah dia anjing yang tak berbudaya. Dan seburuk-buruknya perilaku seorang manusia tetaplah dia manusia yang berbudaya.Â
Perilaku seekor anjing dipandu oleh insting hewani yang dilatih manusia agar berorientasi pada kesetiaan dan perlindungan terhadap tuannya. Seekor anjing dikatakan cerdas jika berperilaku sesuai kehendak tuannya.
Sementara perilaku seorang manusia dipandu oleh intuisi dan rasio yang berkembang dalam koridor norma sosial dan dalam konteks budaya tertentu. Seorang manusia dikatakan cerdas secara sosial jika berperilaku sesuai rambu-rambu norma sosial dalam budayanya.
Jadi anjing dan manusia itu dibedakan oleh budaya. Manusia memiliki budaya yang diciptakan dan dipedomani dalam hidupnya. Sedangkan anjing tidak memiliki budaya.Â
Budaya itu secara sederhana bisa didefinisikan sebagai sistem pemaknaan dalam suatu masyarakat. Wujudnya berupa sistem norma, gagasan yang dirumuskan sebagai panduan perilaku (sikap dan tindakan), berikut materi (benda) yang diciptakan sebagai sarana perilaku itu.
Sistem norma sendiri rerdiri dari empat tingkatan. Semakin tinggi tingkatannya, semakin ketat daya ikatnya dan semakin berat sanksi pelanggarannya.
Pertama, cara (usage), perbuatan spesifik individu yang mungkin hanya akan dicela orang lain bila taklazim.
Kedua, kebiasaan (folkways), aturan yang diikuti mayoritas warga. Sanksi bagi pelanggarnya ringan. Misalnya anak yang tidak salim pada orangtua akan ditegur.
Ketiga, tatalaku (mores), aturan yang menjadi standar perilaku sosial bagi setiap warga suatu masyarakat. Pelanggaran terhadapnya diganjar sanksi cukup keras. Misalnya pelaku hubungan seks di luar nikah dikenai denda berat.Â
Keempat, adat-istiadat (custom), aturan wajib yang paling mengikat bagi seluruh warga suatu masyarakat. Pelanggarnya akan dikenai sanksi sangat berat. Misalnya pelaku inses diusir keluar kampung.
Sistem norma itu dikonstruksi manusia untuk keperluan pengaturan hidupnya. Jelas itu hanya berlaku untuk manusia, bukan untuk hewan semacam anjing.
Begitupun dengan adat perkawinan Jawa, sebagai bagian dari adat-istiadat, jelas dikonstruksi hanya dan hanya untuk kepentingan manusia Jawa.Â
Dengan mengikuti aturan adat perkawinan, maka pasutri Jawa dinyatakan beradat dan bermartabat. Dengan demikian pasutri tersebut dterima sebagai bagian dari komunitas.
Sekarang coba kita renungkan. Jika sepasang anjing dinikahkan secara adat Jawa, apakah pasutri anjjng itu bisa memahami dan menjiwai makna adat itu? Apakah dengan begitu anjing menjadi beradat dan manusiawi?
Untuk memperjelas, ambil contoh unsur kembar mayang dalam perkawinan Luna dan Jojo, dua ekor anjing kaya-raya itu.Â
Dalam adat perkawinan manusia Jawa, kembar mayang itu punya makna filosofis dan sosial mendalam. Pada intinya itu bermakna penyatuan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, telah menjadi sebuah keluarga yang menumbuhkan suatucpohon hidup baru. Di dalam keluarga itu ada harapan-harapan baik dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan untuk meraihnya.
Dua kembar mayang itu melambangkan Dewandaru dan Kalpandaru. Dewandaru adalah wahyu pengayoman. Harapannya mempelai pria dapat mengayomi keluarganya secara lahir batin. Sedangkan Kalpandaru adalah wahyu kelanggengan. Harapannya hidup kedua mempelai panjang umur, langgeng, dan abadi.
Apakah pasangan pengantin Luna dan Jojo mampu memahami, memaknai, dan mengamalkan nilai Dewandaru dan Kalpandaru itu? Apakah sepasang anjing itu telah menjadi sedemikian manusiawinya, sehingga kepada mereka layak diberlakukan nilai atau norma luhur manusia Jawa?
Seperti disinggung di awal, selamanya anjing adalah anjing dan manusia adalah manusia. Manusia sah-sah saja menyayangi anjing, seperti anjing juga sah menyayangi tuannya.Â
Tapi memberikan nilai budaya luhur manusia, seperti adat perkawinan Jawa itu, kepada anjing  sama seperti "merampas makanan dari anak kecil untuk diberikan kepada anjing."
***
Jelas, sangat jelas, menjalankan adat perkawinan Jawa untuk sepasang "pengantin anjing" yang tak berbudaya sangatlah tidak selayak dan sepantasnya.
Bagi kedua orang pemilik anjing hal itu mungkin dimaknai sebagai ekspresi rasa sayang pada anjingnya. Atau, lebih parah lagi, sekadar lucu-lucuan mewah untuk menyenangkan anjing-anjing mereka.
Lucu-lucuan? Mengapa tidak. Diberitakan, setelah resepsi perkawinan yang dihadiri para anjing dan tuannya, Luna dan Jojo langsung separate life di rumah tuan masing-masing. Jadi jangan berharap ada "malam pertama di ranjang pengantin", apalagi bulan madu ke Labuan Bajo.
Tapi bagi untuk sebagian orang Jawa, entah perorangan atau kelompok, upacara adat Jawa pada perkawinan Luna dan Jojo itu dirasakan sebagai penistaan terhadap budaya luhur mereka. Dalam kalimat yang sarkastis, kedua pemilik anjing seakan mengatakan "Adat perkawinan Jawa itu bagus untuk anjing."
Tapi tak hanya terindikasi penistaan terhadap budaya Jawa. Perkawinan mewah Luna dan Jojo itu juga minus empati sosial. Menghamburkan Rp 200 juta untuk "kebahagiaan" dua ekor anjing sama sekali tak sensitif terhadap penderitaan 26 juta warga miskin di Indonesia.
Memang tak ada larangan untuk memberi kemewahan pada anjingmu, wahai tuan dan puan kaya-raya. Tapi tolong jangan lakukan itu dengan cara mendevaluasi adat dan budaya kami. Jangan pula pamerkan kemewahan anjingmu kepada kami yang hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Kami sakit hati dan terhina. (eFTe).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H