Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pelajaran Mengarang Itu Idealnya Memerdekakan Murid

10 Juli 2023   14:40 Diperbarui: 11 Juli 2023   07:42 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak mengarang (Foto: Shutterstock via The Conversation)

Ketika membaca ulang cerpen "Pelajaran Mengarang" Seno Gumira Ajidarma (Cerpen Tetbaik Kompas 1992/1993), saya agak terhenyak. "Kegiatan mengarang kok jadi problematik begini, ya," pikirku.

Cerpen itu berkisah tentang Sandra (10) yang kebingungan menulis karangan sesuai judul yang diberikan gurunya. "Keluarga Kami yang Berbahagia", atau "Liburan ke Rumah Nenek", atau "Ibu". 

Masalahnya Sandra tidak merasa punya keluarga utuh, tidak punya nenek, dan tidak merasa punya ibu yang sayang anak. Ibunya adalah seorang pelacur yang sibuk melayani nafsu berbagai lelaki. Bapaknya entah siapa, tak pernah jelas.

Sampai habis waktu 60 menit pelajaran mengarang, Sandra belum menulis sepatah kata pun. Dia tak bisa menuliskan semua keburukan yang dialaminya tentang keluarga, nenek, dan ibu. 

Pada menit terakhir dia hanya menuliskan frasa "Ibuku Seorang Pelacur" pada kertas putih. Diselipkannya kertas itu di antara karangan teman-teman sekelasnya.

***

Kesulitan Sandra berpangkal pada praktek pelajaran mengarang yang bersifat otoriter di sekolah. Guru menentukan judul secara sepihak. Lalu murid disuruh mengarang sesuai judul, atau topik itu. 

Dalam kasus Sandra, gurunya berasumsi bahwa semua murid pasti punya keluarga, ibu, dan nenek. Seakan semua anak datang dari keluarga sempurna. Tak terpikir olehnya kemungkinan adanya anak, seperti Sandra, yang tak jelas sejarah, struktur, dan kultur keluarganya.

Sewaktu di SD tahun 1960-an, aku juga mengalami persoalan serupa. Selepas vakansi sekolah, guru lazim menyuruh murid menulis karangan tentang "pengalaman liburan". Itu masalah besar bagiku, dan teman-teman, karena kami merasa tak punya pengalaman liburan.

Definisi liburan bagi kami waktu itu adalah tidak pergi ke sekolah dan lebih banyak waktu membantu orangtua bekerja. Entah itu bekerja di sawah, ladang, kebun, dan mengangon kerbau. Atau mencari kayu bakar ke hutan.

Dalam persepsi kami waktu itu, liburan mestinya keluar dari rutinitas belajar di sekolah dan bekerja di lingkungan keluarga. Misalnya pergi bertamasya ke Kebun Binatang Siantar, Pantai Cermin Serdang Bedagei, dan Bukit Gundaling,Tanah Karo. Itu tempat-tempat tamasya yang kami ketahui waktu itu.

Faktanya, liburan sekolah untuk kami berarti kerja lebih keras membantu orang tua. Itu kan intensifikasi rutinitas kewajiban dalam keluarga. Itu menyebalkan. Lalu apa yang bisa diceritakan?

Mengarang itu mestinya kan wahana demokrasi. Wahana yang membebaskan atau memerdekakan murid menuliskan pikiran- pikiran atau khayal-khayalnya. Karena itu dia tak semestinya dipagari dengan ketentuan judul atau topik khusus. 

Jika harus tematik, maka mestinya tema karangan harus bersifat terbuka. Barangkali kami akan lebih mudah bagi kami dulu bercerita jika guru menyuruh bikin karangan pengalaman Natal dan Tahun Baru. Sebab kami semua anak Kristiani yang punya cerita sendiri-sendiri tentang hari gembira itu.

Pendekatan otoriter telah menjadikan pelajaran mengarang momok bagi murid. Bukannya merasa terbebaskan, murid justru merasa terkungkung dalam pagar-pagar yang dipancangkan guru. Akibatnya murid menjadi stres, imajinasi dan kreativitasnya tumpul. 

***

Satu hal perlu disepakati dulu. Pelajaran mengarang mesti disepakati sebagai pelajaran yang bersifat membebaskan atau memerdekakan. 

Karena itu pelajaran mengarang harus menjadi pengalaman kemerdekaan bagi murid. Tentu saja juga bagi gurunya.

Namun, dalam konteks pemerdekaan itu, pelajaran mengarang secara ketat mesti patuh pada kaidah logika, etika, dan estetika. Hal itu patut digaris-bawahi karena bahasa, produk budaya yang digunakan dalam mengarang, sejatinya taat pada azas-azas logika, etika, dan estetika.

Terkait logika, harus ditegaskan, mengarang itu merupakan optimalisasi pemanfaatan akal sehat. Jika suatu kalimat adalah sebuah pernyataan logis, maka konsekuensinya demikian pulalah paragraf dan keseluruhan isi tulisan.

Bisa dikatakan sebuah karangan adalah produk akal sehat. Karena itu dia semestinya bersifat mencerahkan dan mencerdaskan.

Tapi tak cukup logika. Etikapun harus menjadi nilai yang melekat padanya.

Dalam konteks Indonesia, sumber etika yang bersifat mengikat pada semua warga bangsa adalah Pancasila. Ada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial di situ. Komplitlah.

Maka, tanpa membatasi daya imajinasi, setiap karangan orang Indonesia mestinya berpijak pada atau mempromosikan nilai-nilai atau etika Pancasila itu.

Sementara itu estetika merujuk pada karangan sebagai buah kalam. Dia sesuatu yang indah sebab mengandung logika dan etika pada dirinya. Sesuatu yang logis dan etis dengan sendirinya estetis.

Estetika karangan tentu tak semata konsekuensi logika dan etika. Tetapi juga menyangkut estetika kebahasaan. Hal itu terbentuk sebagai hasil kreativitas dalam pemilihan diksi dan gaya bahasa.

Sungguh mencengangkan. Ternyata pejajaran mengarang menanamkan tiga dari enam elemen profil pelajar Pancasila yaitu berakhlak mulia (etika Pancasila), bernalar kritis (logika), dan kreatif (estetika).

Pelajaran mengarang dengan demikian sangat relevan dengan kebijakan dan program Merdeka Belajar dari Kemendikbudrisrek. Pelajaran ini bukan saja berpotensi sebagai wahana pemerdekaan, tapi sekaligus juga penanaman nilai-nilai etika, logika, dan estetika kepada murid.

Karena itu, dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Merdeka Belajar, ada baiknya dipertimbangkan mencabut pelajaran mengarang dari Pelajaran Bahasa Indonesia. Selanjutnya Pelajaran Mengarang dijadikan satu mata pelajaran sendiri.

Itu sangat layak. Mengingat pelajaran mengarang adalah satu-satunya pelajaran yang bersifat memerdekakan, tapi sekaligus paling potensil menanamkan logika (nalar kritis), etika (nilai-nilai Pancasila), dan estetika (daya cipta atau kreasi keindahan).

Tentu materi pelajaran mengarang tak semata soal teori, metode, dan teknik mengarang. Tapi juga mencakup materi pengenalan dan pemahaman atas karya-karya tulis yang mempengaruhi perkembangan dunia, baik itu fiksi maupun non-fiksi.

Dengan demikian, pelajaran mengarang tak lagi bersifat periferal seperti sekarang ini. Hanya merupakan bagian minor dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Seingatku dulu, dari SD sampai SMA, tak sampai jumlah jemari dua tangan aku mendapat pelajaran mengarang di kelas. Bahkan waktu di SMA, seingatku, satu kalipun tak pernah. Bah, parah kalipun.

Bagaimanapun, jika menjadi satu mata pelajaran tersendiri, yang diampu guru berkualifikasi pengarang, maka pelajaran mengarang dapat menjadi wahana efektif untuk membentuk karakter Pelajar Pancasila.(eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun