Tapi tak cukup logika. Etikapun harus menjadi nilai yang melekat padanya.
Dalam konteks Indonesia, sumber etika yang bersifat mengikat pada semua warga bangsa adalah Pancasila. Ada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial di situ. Komplitlah.
Maka, tanpa membatasi daya imajinasi, setiap karangan orang Indonesia mestinya berpijak pada atau mempromosikan nilai-nilai atau etika Pancasila itu.
Sementara itu estetika merujuk pada karangan sebagai buah kalam. Dia sesuatu yang indah sebab mengandung logika dan etika pada dirinya. Sesuatu yang logis dan etis dengan sendirinya estetis.
Estetika karangan tentu tak semata konsekuensi logika dan etika. Tetapi juga menyangkut estetika kebahasaan. Hal itu terbentuk sebagai hasil kreativitas dalam pemilihan diksi dan gaya bahasa.
Sungguh mencengangkan. Ternyata pejajaran mengarang menanamkan tiga dari enam elemen profil pelajar Pancasila yaitu berakhlak mulia (etika Pancasila), bernalar kritis (logika), dan kreatif (estetika).
Pelajaran mengarang dengan demikian sangat relevan dengan kebijakan dan program Merdeka Belajar dari Kemendikbudrisrek. Pelajaran ini bukan saja berpotensi sebagai wahana pemerdekaan, tapi sekaligus juga penanaman nilai-nilai etika, logika, dan estetika kepada murid.
Karena itu, dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Merdeka Belajar, ada baiknya dipertimbangkan mencabut pelajaran mengarang dari Pelajaran Bahasa Indonesia. Selanjutnya Pelajaran Mengarang dijadikan satu mata pelajaran sendiri.
Itu sangat layak. Mengingat pelajaran mengarang adalah satu-satunya pelajaran yang bersifat memerdekakan, tapi sekaligus paling potensil menanamkan logika (nalar kritis), etika (nilai-nilai Pancasila), dan estetika (daya cipta atau kreasi keindahan).
Tentu materi pelajaran mengarang tak semata soal teori, metode, dan teknik mengarang. Tapi juga mencakup materi pengenalan dan pemahaman atas karya-karya tulis yang mempengaruhi perkembangan dunia, baik itu fiksi maupun non-fiksi.
Dengan demikian, pelajaran mengarang tak lagi bersifat periferal seperti sekarang ini. Hanya merupakan bagian minor dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.