Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Dapatkah Rindu pada Soto Triwindu Dibayar dengan Soto Gading?

27 Juni 2023   07:12 Diperbarui: 28 Juni 2023   02:02 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sebenarnya baru empatpuluh hari lalu ke Solo. Melayat kerabat yang pergi berbaring lebih dulu ke pemakaman Untoroloyo.

Tapi itu hari berkabung, bukan hari kulineran. Hilang minatku untuk membayar utang rindu kepada soto dan sate legendaris di "kota halaman" Jokowi itu.

Hari ini adalah peringatan empatpuluh hari kerabat berpulang, menurut tanggalan Jawa. Bukan hari berkabung lagi. Jadi boleh sejenak kulineran, dong.

Terakhir aku menikmati soto Triwindu sekitar lima tahun lalu di belakang Pasar Triwindu baru—di Keprabon Banjarsari. Sudah cukup lama berlalu. Tapi gurih kuahnya, hasil rebusan langsung daging sapi, serasa masih lekat pada papillea lidahku. Empuk dagingnya masih serasa menyisakan slilit di gigiku.

Tapi itu bukan yang pertama. Aku menyesap rasa soto itu untuk pertama kalinya sekitar 25 tahun lalu. Tempatnya masih di Pasar Triwindu lama. Barangkali Ibu Hj. Yoso Sumarto masih sehat waktu itu. Beliaulah yang merintis warung soto itu tahun 1939. Dulu namanya soto Pringgondani.

Sambil memandangi agroekologi koridor jalan tol dalam perjalanan Semarang-Solo, terbit liurku tak tertahankan. Teringat akan rasa soto kegemaran Pak Jokowi itu.

Triwindu, aku datang!

Tampilan soto sapi Triwindu Solo (Foto: tripadvisor.co.id)
Tampilan soto sapi Triwindu Solo (Foto: tripadvisor.co.id)

***

"Soto Triwindu!" jawabku cepat ketika salah seorang anggota rombongan keluarga bertanya mau makan siang di mana. Itu anganku, obsesiku. Mobil kami baru saja keluar di exit tol Solo.

"Jangan Triwindulah. Soto Gading saja!" Seseorang berteriak, mengajukan usul.

"Voting!"

Maka jadilah voting. Hasilnya 6 - 1 untuk kemenangan Soto Gading. Apakah hanya aku yang setengah gila merindu soto Triwindu? Aku manyun!

Mobil melaju di Jalan Bhayangkara, Panularan-Laweyan. Lewat kaca jendela, kulihat ada restoran Ayam Goreng Kartini di sebelah kanan jalan. Banyak mobil parkir di halaman depannya. Berarti enak, tuh.

"Kita makan di Ayam Goreng Kartini saja!" Aku berusaha mengacaukan hasil voting. "Gak soto Triwindu gak soto Gading, ya ayam goreng Kartini saja." Pikiran jahatku muncul begitu saja. Buah rasa kecewa karena kalah voting.

Cobalah mengerti sedikit. Nanti malam ada acara keluarga dengan konsumsi model USDEK (Unjuk - Snek/Sup - Dahar - Es Krim - Kondur). Pasti enak dan ngenyangin. Besok pagi mesti kembali ke Semarang. Kapan ke Triwindu, coba.

"Ngaco! Gaklah!" Istriku melotot. Itu tandanya dia kepingin juga makan ayam goreng Kartini. Tapi hasil voting tak boleh dibatalkan.

Mobil berhenti, parkir di tepi jalan, persis di depan rumah makan "Soto Ayam Gading 2". "Ah, sudah buka cabang rupanya," bathinku. Cabang ini berada di Jalan Veteran, Tipes-Serengan.

Ingatanku tetiba melayang ke satu hari sekitar duapuluh tahun lalu. Aku bersana anak dan istri ditraktir Paklik/Bulik makan soto Gading. Waktu itu warungnya di Jalan Brigjen Sudiarto, Joyosuran Pasar Kliwon. Sekarang dikenal sebagai Rumah Makan Soto Gading 1.

Itu pertama kali aku menikmati soto ayam Gading. Setelah itu belum pernah lagi. Terus terang, aku sudah lupa rasanya. Tapi ingat rupanya. Bihun bening dan suwiran daging ayam tenggelam dalam kuah rada bening, dengan taburan bawang goreng ngambang di permukaannya.  

Eling rupane lali rasane. Kira-kira begitu situasi memoriku. Deja vu? Bukan lali rupane eling rasane. Ini sih memori supir dan kernet truk jalur Pantura.

Aku hanya ingat enak. Tapi bagaimana rasa enaknya lupa. Bila kemudian orang-orang bilang enak, ya, aku sepakat. Pak Jokowi juga bilang enak. Maka enaklah itu.

Tanpa sadar terbitlah liurku mengingat soto Gading itu. Bersamaan dengan datangnya Mas Pelayan ke meja kami, hatiku sudah ikhlas makan soto Gading. "Biarlah riduku pada soto Triwindu dibayar dengan soto Gading." Aku membatin.

Ada yang unik pada sistem pemesanan. Mas Pelayan tidak memberikan daftar pemesanan menu. Mungkin tak ada karena soto Gading menerapkan prinsip paperless? Itu bagus, sih. Tapi kasihan juga pada Mas Pelayan yang harus tiga kali mengulang pesanan kami. Agar tak ada kesakahan eksekusi.

Aku rada prihatin melihat mimik Mas Pelayan itu. Teringat mimik anakku waktu masih SD dulu saat mengulang-ulang pelajaran sejarah untuk persiapan ulangan besok hari. Rada-rada stres gimana, gitu.

Tapi aku pikir barangkali memang begitulah kultur bisnis Soto Gading. Mengandalkan ingatan dan mengedepankan saling percaya antara pesoto dan penyoto, penjaja dan konsumen. 

Masalahnya ingatanku, sebagai jurubayar nanti, tidaklah sebagus Mas Pelayan itu. Terbukti makanan datang tepat seperti pesanan. Karena itu aku putuskan untuk mencatat semua pesanan itu di balik kertas struk belanjaan entah dari toko mana.

Soto datang, lidah goyang!

Aku mengamati semangkok soto Gading yang tersaji di hadapanku—terpisah dari sepiring nasi putih pulen di sampingnya. Ingatanku akurat tentang strukturnya. Bihun bening dan ayam suwir dalam genangan kuah berkaldu agak bening. Taburan brambang abang, bawang merah goreng mengambang di permukaannya.

Aku memejamkan mata saat mencoba suapan pertama, sesendok soto berisi kuah, sesuwir daging ayam, sejumput kecil bihun bening, dan selembar bawang goreng. Lalu ada potongan jeruk nipis untuk memberi rasa segar.

Hmm, suapan itu melontarkan ingatanku pada satu momen duapuluh tahun lalu, ketika aku menyesap nikmat soto Gading untuk pertama kalinya. Tetiba ingatanku pulih soal rasanya. Gurih kuah, tekstur daging yang lembut, bihun yang empuk, dan bawang goreng yang krispi lembut. Semua serba lembut.

Serba lembut. Aku ingat sekarang. Itulah karakter soto Gading. Kurasa itu adalah pewujudan kelembutan putri Solo dalam struktur, tekstur, dan rasa soto ayam. 

Aku, tentu saja, tak hendak mengatakan menikmati semangkok soto Gading serupa menikmati kelembutan dari seorang putri Solo.  

Aku cuma mau bilang, kelembutan putri Solo itu adalah inspirasi bagi Bapak Siswo Martono ketika meracik dan merintis warung soto Gading tahun 1974. Begitulah yang kupikirkan. Apakah aku lebay?

Sekurangnya bisa kupastikan rasa soto Gading itu lebih lembut ketimbang rasa soto Lamongan dan Madura. Rasa dua jenis soto terakhir ini sangat keras. Sekeras orang Lamongan dan Madura.

Ketika aku membayar makanan kami di kasir, hatiku bertambah lunak. Mbak Kasir percaya saja pada catatanku, andai misalnya kutambah-tambahi daftar pesanan. Di situlah pentingnya kejujuran dan kepercayaan.

"Seratus delapan puluh ribu, Pak," tagih Mbak Kasir lembut. 

Hatiku tambah melunak lagi macam bubur sumsum. Bukan karena suara lembut Mbak Kasir. Tapi karena harga yang menurutku terlalu murah untuk soto plus kudapan yang terlalu nikmat.

Sambil melangkah ke luar menuju mobil, aku merenung, barangkali begitulah muatan keadilan sosial dalam usaha soto Gading. Harganya sengaja dibikin murah, agar wong cilik Solo boleh ikut menikmati rasa enak soto Gading. 

Makan enak itu bukan hak orang kaya saja tapi juga orang miskin. Jangan salah pula. Kendati kota Solo pernah dipimpin Pak Jokowi, dan kini dinakhodai Mas Gibran putranya, warga miskin masih tetap ada di sana.

***

Esok paginya, sambil duduk selonjor di gerbong lowong kereta api Banyubiru rute Solo-Semarang, aku merenungkan rinduku pada soto Triwindu dan soto Gading.

Semula aku berpikir hanya memendam rindu pada soto Triwindu. Lalu, karena tak kesampaian, aku berpikir untuk membayar rindu itu dengan menikmati soto Gading.

Tapi apakah rinduku pada soto Triwindu terbayar dengan makan soto Gading? Ternyata tidak. Sebab keduanya soto yang berbeda dengan kenikmatan yang berbeda. Soto Triwindu itu soto sapi, sedangkan soto Gading adalah soto ayam.  Satu sana lain bukan substitute. Ojo dibandingke!

Satu hal lain, ternyata aku punya kerinduan terpendam juga pada soto Gading. Hal itu kusadari saat dihadapkan pada kenyataan lupaku pada rasa soto itu. Liur terbit adalah tanda rindu yang terpendam. Mungkin semacam rindumu pada mantan yang selalu kau ingkari.

Apakah aku akan memendam rinduku pada soto Triwindu? Tidak, aku masih punya harapan untuk membayarnya lunas. Selama masih ada kereta dari Gambir Jakarta ke Balapan Solo atau dari Tawang Semarang ke Balapan Solo. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun