Aku, tentu saja, tak hendak mengatakan menikmati semangkok soto Gading serupa menikmati kelembutan dari seorang putri Solo. Â
Aku cuma mau bilang, kelembutan putri Solo itu adalah inspirasi bagi Bapak Siswo Martono ketika meracik dan merintis warung soto Gading tahun 1974. Begitulah yang kupikirkan. Apakah aku lebay?
Sekurangnya bisa kupastikan rasa soto Gading itu lebih lembut ketimbang rasa soto Lamongan dan Madura. Rasa dua jenis soto terakhir ini sangat keras. Sekeras orang Lamongan dan Madura.
Ketika aku membayar makanan kami di kasir, hatiku bertambah lunak. Mbak Kasir percaya saja pada catatanku, andai misalnya kutambah-tambahi daftar pesanan. Di situlah pentingnya kejujuran dan kepercayaan.
"Seratus delapan puluh ribu, Pak," tagih Mbak Kasir lembut.Â
Hatiku tambah melunak lagi macam bubur sumsum. Bukan karena suara lembut Mbak Kasir. Tapi karena harga yang menurutku terlalu murah untuk soto plus kudapan yang terlalu nikmat.
Sambil melangkah ke luar menuju mobil, aku merenung, barangkali begitulah muatan keadilan sosial dalam usaha soto Gading. Harganya sengaja dibikin murah, agar wong cilik Solo boleh ikut menikmati rasa enak soto Gading.Â
Makan enak itu bukan hak orang kaya saja tapi juga orang miskin. Jangan salah pula. Kendati kota Solo pernah dipimpin Pak Jokowi, dan kini dinakhodai Mas Gibran putranya, warga miskin masih tetap ada di sana.
***
Esok paginya, sambil duduk selonjor di gerbong lowong kereta api Banyubiru rute Solo-Semarang, aku merenungkan rinduku pada soto Triwindu dan soto Gading.
Semula aku berpikir hanya memendam rindu pada soto Triwindu. Lalu, karena tak kesampaian, aku berpikir untuk membayar rindu itu dengan menikmati soto Gading.