Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Makna Wisuda Terdegradasi di Indonesia

22 Juni 2023   16:33 Diperbarui: 23 Juni 2023   08:29 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perayaan wisuda. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Sampai akhir 1990-an, seorang warga terdidik di Indonesia bisa menjalani seremoni wisuda maksimal tiga kali. Kali pertama setelah lulus Sarjana Strata-1 (S-1), ini mayoritas. Kedua setelah lulus Magister, Sarjana Srata-2 (S-2),  ini minoritas. Ketiga setelah lulus Doktor, Sarjana Strata-3 (S-3), ini paling minoritas.

Tapi memasuki tahun 2000-an, seorang warga terdidik dimungkinkan menjalani wisuda pendidikan sebanyak tujuh kali. Empat kali pada jenjang pra-sekolah (TK) dan sekolah (dasar, menengah pertama, menengah atas). Lalu tiga kali pada jenjang sarjana. Itu dengan asumsi orang tersebut menjalani jenjang-jenjang pendidikan secara lengkap dari TK sampai S-3.

Pertanyaannya, jika wisuda itu adalah seremoni pengakuan atas kemumpunian akademik, lantas kemumpunian akademik macam apa yang telah diraih anak TK, SD, SMP, dan SMA/SMK?

***

Untuk menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu diketahui macam apa tingkat kemumpunian akademik sarjana.

Secara sederhana, kemumpunian akademik sarjana S-1 adalah pemahaman, S-2 pendalaman, dan S-3 penemuan ilmiah. Semakin tinggi stratanya, semakin spesifik dan mendalam tingkat kemumpuniannya. 

Semisal begini. Sarjana-1 Budidaya, S-2 Budidaya Padi, dan S-3 Pemuliaan Padi Hibrida. 

Jika pemegang gelar S-3 itu dosen atau peneliti, lalu dia menjadi Guru Besar atau Profesor Riset, maka bidang keprofesoran atau kepakarannya adalah pemuliaan padi hibrida. Lazimnya begitu.

Tingkat kemumpunian itu ditandai dengan produk akademik yang teruji.  Skripsi untuk S-1; tesis dan publikasi artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi nasional untuk S-2; disertasi dan publikasi artikel ilmiah dalam (idealnya) jurnal terakreditasi internasional untuk S-3.

Wisuda sejatinya, menurut sejarahnya sejak rintisan Universitas Oxford dan Universitas Cambridge di Inggris abad ke-12, dimaksudkan sebagai ritus pengakuan dan pengukuhan atas kemumpunian akademik itu. Rektor sebagai representasi universitas memiliki wewenang, disimbolkan tongkat gada di tangan, untuk memberikan pengakuan dan pengukuhan itu.

Melalui ritus atau seremoni wisuda, seorang sarjana resmi memperoleh justifikasi dan legitimasi keahlian berbasis sains di bidang tertentu. Keahlian itu dilambangkan oleh toga.  Jubah hitam melambangkan wibawa sains. Topi hitam persegi empat melambangkan cara pandang saintifik yang multi-dimensional. Pemindahan tali kuncir dari kiri ke kanan topi melambangkan kesiapan peralihan dari ranah teori ke ranah praksis.

Wisuda dengan demikian mengandung dua makna dasar. Pertama, pengakuan dan pengukuhan formal atas keahlian dan kemumpunian akademik seseorang yang telah meraih gelar sarjana di bidang tertentu (S-1, S-2, S-3). 

Kedua, pernyataan kesiapan seseorang yang telah meraih gelar sarjana untuk beralih dari dunia teori ke dunia praksis. Dengan kata lain, kesiapan untuk menerapkan keahlian akademiknya dalam karya yang mendukung peningkatan kemaslahatan masyarakat.

***

Dengan memperhatikan dua makna dasar tersebut, kiranya sudah bisa dijawab apakah wisuda TK, SD, SMP, dan SMA mengandung makna yang sama dengan wisuda sarjana.

Sudah pasti jawabannya "Tidak!"

Jenjang pra-sekolah, sekolah dasar, dan sekolah menengah (pertama dan atas) jelas tidak dimaksudkan untuk penguasaan bidang keahlian akademik tertentu hingga taraf pemahaman (S-1), pendalaman (S-2), dan penemuan (S-3). Murid SD, SMP, dan SMA ditargetkan hanya untuk mengetahui secara reproduktif dasar-dasar sains. Bukan untuk mengetahui secara produktif seperti pada universitas, sebagaimana dibuktikan dengan produk saintifik berupa skripsi, tesis, dan disertasi.

Jelas juga pengetahuan dasar lulusan SD, SMP, dan SMA tidak dimaksudkan untuk dapat diterapkan dalam kerangka peningkatan kemaslahatan masyarakat. 

Benar untuk kasus SMK, penguasaan keterampilan (vokasi) tertentu oleh murid dimaksudkan untuk dapat langsung diterapkan dalam kerja teknis. Tapi ketrampilan semacam itu bersifat reproduktif dan elementer. 

Jadi bisa disimpulkan wisuda lulusan TK, SD, SMP, dan SMA/SMK itu mengingkari makna dasar wisuda secara historis. Dia tak punya makna baik pengakuan/pengukuhan keahlian akademis maupun peralihan dari teori ke praksis. Karena itu dia dengan sendirinya telah mendegradasi makna wisuda dari justifikasi/legitimasi keahlian akademis, teoritis maupun praksis.

Jika ada makna yang terkandung pada wisuda pra-sekolahan dan sekolahan, maka itu hanya semata nilai selebrasi dan kenangan kelulusan. Ditambah nilai lain yang cenderung memberatkan: nilai ekonomi berupa biaya wisuda. Ini bikin banyak orangtua murid mengeluh karena dompetnya mengempis drastis.

Satu hal yang perlu diingat juga, wisuda itu secara tradisi berlaku pada jenjang pendidikan formal final. Bukan pada jenjang pendidikan terminal. Jenjang sarjana pada dasarnya adalah jenjang final. Sementara TK sampai SMA adalah terminal. Perhentian sementara sebelum lanjut menuju jenjang pendidikan formal final.

***

Pada akhirnya bisa dikatakan, setidaknya menurut pendapatku, wisuda lulusan TK, SD, SMP, dan SMA itu hanyalah selebrasi yang sebenarnya diada-adakan dan, karena itu, mengada-ada. 

Tidak ada nilai makna akademisnya. Karena itu, dari sisi akademis, takada relevansi dan urgensinya. Lebih dari itu, wisuda semacam itu justru mendegradasi makna sejati wisuda dari seremoni capaian akademis menjadi selebrasi kelulusan semata.

Secara maknawi, bisa dikatakan, wisuda pra-sekolah dan sekolah itu tak lebih bernilai dibanding aksi corat-coret pakaian seragam, moda selebrasi informal kelulusan anak SMA.  Itu untuk tak mengatakan makna toga pada wisuda sekolahan itu telah terdegradasi -- menjadi setara makna seragam sekolah yang dicoret-coret.

Jadi kalau saya ditanya apakah setuju dengan acara wisuda pada jenjang pendidikan pra-sekolah dan sekolah, maka tanpa ragu saya pasti menjawab "Tidak setuju!".  Ini bukan masalah biayanya yang tinggi, tapi masalah maknanya yang terdegradasi. (eFTe)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun