Sudah tiga puluh tahun lebih berlalu. Baru sekarang aku bisa berkunjung lagi ke Semarang. Berkunjung dalam arti sebenarnya. Bukan sekadar lewat lalu mampir sebentar makan siang.
Bukan, bukan begitu. Tapi berkunjung dalam arti memang tinggal di situ untuk beberapa hari.
Terakhir aku berkunjung agak lama ke Semarang pada akhir 1980-an. Â Aku dan tim melakukan riset perkampungan kumuh di sekitar Banjir Kanal Timur. Kami menginap di Asrama Haji Semarang. Tiap malam makan burung dara goreng di warung tenda depan asrama.
Patokan kami di kota Semarang waktu itu Lapangan Pancasila Simpang Lima. Kalau kami nyasar, selalu naik angkot ke Simpang Lima untuk reorientasi. Perasaan waktu itu semua angkot lewat situ.Â
Hal menarik soal angkot itu, supirnya selalu ngomel kalau angkot penuh tapi semua penumpang  "jarak jauh". Itu artinya pendapatan terbatas. Para supir lebih suka angkot dipenuhi penumpang "jarak dekat" yang silih berganti. Itu artinya pendapatan lebih banyak. Sebab tarif angkot jauh-dekat sama saja.
Itu mirip kelakar pahit supir angkot Yogya pada tahun yang sama. Kalau penumpang sedikit, Â bus bergerak lambat karena terasa "berat" (hati supir). Sebaliknya kalau penumpang penuh, bus bergerak cepat karena terasa "ringan" (hati supir).
Tapi itu cerita masa lalu. Sekarang angkutan kota Semarang sudah berubah. Ada bus Trans-Semarang dan ada bus pengumpan di pinggiran kota. Lalu ada jasa motor dan mobil ojol. Â Angkot-angkot kecil sudah jarang terlihat siliweran.
Begitulah, sebubar ibadah di Gereja Katolik Maria Fatima di perbukitan Banyumanik kemarin, kami sekeluarga menumpang mobil ojol turun ke kota Semarang. Tujuannya makan siang. Itu kebiasaan kami, nyaris menjadi ritus keluarga.
Selepas menikmati santapan rohani di gereja, lalu menikmati santapan jasmani di rumah makan. Sempurna. Sebab manusia tak hanya hidup dari roti, tapi juga dari sabda. Setidaknya kami percaya begitu.
"Kita makan di rumah makan Kelengan Sate Babi saja," usul anak kami -- istriku dan aku. Dan usul itu jadi masalah. Istriku tidak suka makan daging babi. Aku juga tak terlalu suka.
Tentang kekurang-sukaanku makan daging babi itu pernah menjadi bahan olok-olok. "Masa orang Batak, Katolik pula, tak suka makan babi." Begitu kata orang. "Masalahnya babi juga tak suka dimakan orang Batak." Begitu pledoiku.Â
"Nanti kan ada juga sate ayam di situ." Anak kami meyakinkan istriku dan aku. Ya, sudah. Percaya saja pada anak. Dia kan tinggal di Semarang. Jadi sudah sedikit ahli soal seluk-beluk kota ini.
Kalau aku, boleh dibilang kudet soal Semarang sekarang. Sudah banyak perubahan dan Ganjar Pranowo gak pernah cerita kepadaku. Soalnya dia tak mengenal aku.Â
Untungnya ada cukup banyak juga yang tak berubah di kota ini. Tugu Muda, Simpang Lima, Lawang Sewu, Gereja Blenduk, Katedral, Kelenteng Sam Poo Kong, dan Stasiun Tawang masih berdiri di tempat, belum pindah sejak dulu. Itu tetenger kota Semarang.
Kalau kamu bingung di kota Semarang, berpeganganlah pada Tugu Muda. Kata seorang temanku dulu, asli lahir dan menua di Semarang. Aku tak pernah menuruti nasihatnya. Bego aja, kale.
Mobil ojol tiba di depan RM Kelengan di Jalan Wotgandul Barat. Itu kawasan Pecinan Semarang. Â Begitu turun, asap beraroma lemak kental meruap dari pembakaran sate babi di depan rumah makan. Itu membuat istriku dan aku merasa nheg.Â
Di dalam, meja-meja restoran nyaris penuh. Aku takjub juga melihat kenyataan begitu banyak penikmat daging babi di kota ini. "Makan di sini, ko? Silahkan duduk, ko." Pelayan mempersilahkan dengan ramah. "Aku bukan koko tapi ompungmu!" Hampir saja aku memarahi pelayan itu.
Entahlah. Kalau berada di sekitar babi-babian, emosiku gampang naik. Mungkin itu sebabnya aku gak begitu suka makan daging babi. Selain karena dulu, waktu kecil, seorang dokter melarangku makan daging babi karena memicu alergi gatal-gatal.Â
Memang rada aneh sih ada orang Batak gatal-gatal kalau makan daging babi. Biasanya kan lidah orang Batak gatal ingin makan daging itu.
Sebelum duduk, aku periksa dulu daftar menu. Oi makjang, semua makanan kategori babi-babian. Gak adalah itu ayam-ayaman, apalagi terong-terongan. "Kita cari tempat makan lain." Aku bertitah otoriter.
Bukan karena menu di Kelengan gak enak. Bukan. Itu pasti enak, kalau dilihat betapa lahap orang makan di situ. Tapi, mohon maaf mas pelayan, istriku dan aku tak suka makan daging babi.
Di luar rumah makan, aku segera googling bakmi Hap Kie. Nama ini tiba-tiba saja muncul di benak, mungkin dari ingatan di masa lalu. Atau mungkin pernah terbaca di mana, lupa.Â
Atau itu semacam serendipitas. Temuan intuitif solutif tak terduga untuk sebuah masalah. Masalah kelaparan outsider di Pecinan.
Aha, ternyata kedai bakmi Hap Kie hanya sekitar 150 meter dari Kelengan. Kedai itu ada di Jalan Beteng. Tuhan Maha Pengasih pada umat-Nya yang sudah lapar sepulang dari gereja.Â
Akhirnya jadi juga makan siang. Kami melangkahkan kaki menuju kedai bakmi itu.
Kedai bakmi Hap Kie itu kecil, tapi terasa akrab, khas kedai bakmi Cina dari masa lalu. Beruntung kami masih mendapat meja untuk empat orang. Pengunjung berikutnya harus rela antri menunggu meja kosong.
Kami pesan nasi goreng, mie ayam, kuetiaw goreng, dan pangsit goreng. Porsinya tergolong jumbo dan disajikan panas-panas. Setiap menu dimasak saat dipesan.
Rasa masakan Hap Kie itu enak betul. Tak hanya enak, tapi juga unik. Bahan mienya kenyal-kenyal getas gurih, bikinan sendiri. Aroma asap nasi gorengnya menggugah selera. Pangsit gorengnya garing gurih. Bakso gorengnya menggoyang lidah.Â
Saya sudah menikmati masakan Cina di Jakarta, Medan, Siantar, atau bahkan Pontianak. Â Tapi belum petnah mebemukan rasa seperti di Hap Kie.
Pokoknya enak dan uniklah. Gak perlu banyak cerita rasa. Kami ke Hap Kie untuk makan siang. Ya, sudah, makan saja. Kalau aku bilang enak, ya enak. Gak perlulah didebat.Â
Soal rasa, kan gak bisa diperdebatkan. Sambal petis enak banget kata temanku, putra asli Surabaya. Ya, sudah. Gak usah minta aku mencicipinya.
Kami keluar dari  kedai bakmi Hap Kie dengan tampang bego. Puas dan kekenyangan.
Ah, sebuah makan siang nikmat yang tak terencana di Semarang. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H