Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Putri Ariani, Kealpaan Negara, dan Diskriminasi dalam Industri Hiburan Kita

15 Juni 2023   10:21 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:12 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simon Cowell memuji penampilan Putri Ariani di ajang audisi American Got Talent 2023 (Foto: Tabgkapan layar YOutube American Got Talent)

Ray Charles, Jose Feliciano, Stevie Wonder, dan Andrea Bocelli adalah para musisi besar. Andai mereka kembali muda, kini dan di sini, apakah mungkin menjuarai kontes Indonesian Idol?

Pertanyaan rada absurd itu muncul di benakku, saat via YouTube menyaksikan Putri Ariani, musisi muda (17) difabel (tunanetra) Indonesia, mendapat tiket Golden Buzzer dari juri Simon Cowell di ajang audisi American Got Talent (AGT) 2023 baru-baru ini.

"Because she is brilliant," jawab Cowell saat host AGT Terry Crews bertanya, "... why you push this Golden Buzzer." 

Ya, "brilliant". Itulah satu-satunya kata dalam bahasa manusia yang bisa menggambarkan penampilan Putri Ariani saat membawakan lagu Loneliness (Putri Ariani) dan Sorry Seems to Be the Hardest Word (Elton John) di AGT. "Amazing" adalah kata pujian yang mengikut sebagai implikasi tampilan brilian.

Tapi perjalanan menjadi musisi brilian itu tak pernah mudah bagi Putri Ariani. Kalau bukan sarat dengan kesakitan.

Lagu gubahannya, Loneliness, menggambarkan kesakitannya meniti harapan. Sendiri dia, ditinggal orang-orang yang awalnya seakan memberi harapan. Hanya ayah-bunda dan kedua adik perempuannya yang setia mendukung di sisinya. 

Di mana negara dan industri musik domestik saat Putri tertatih-tatih menapaki jalur kariernya sebagai musisi? Apakah negara hadir mendukung perjalanan kariernya? Juga, apakah industri hiburan kita membuka lebar jalan untuknya?

Negara yang Alpa

Hari-hari ini warganet kita mendapat suguhan yang, menurut hematku, menunjukkan ketaktahu-dirian negara. Presiden, seorang gubernur, dan seorang kepala staf di TNI, seakan berlomba mengucapkan selamat kepada Putri atas pencapaiannya. Sekaligus berterimakasih karena telah mengharumkan nama Indonesia di kancah industri musik dunia. Bahkan di medsos mencul foto bersama seorang bacapres dengan Putri saat kanak-kanak.

Mengapa saya bilang "tak tahu diri"? Sederhana saja. Kemana negara -- yang direpresentasikan presiden, gubernur, dan kepala staf tentara -- saat Putri sepi sendiri, sarat sakit hati dan air mata, membangun kariernya dari bawah sejak balita? Apakah negara memberi dukungan, paling tidak secara moril kalau pelit materil, untuk Putri? Tidak, negara alpa, sepanjang yang kutahu.

Lalu mengapa sekarang, saat Putri atas jerih-payah sendiri sukses di ajang kontes hiburan kelas dunia, negara mendadak muncul ke permukaan? Para pendukung pejabat pemerintahan itu memberi pembelaan, "Wajarlah mereka mengapresiasi anak bangsa yang mencapai sukses internasional."

Wajar? Coba dipikir. Di mana dasar moralitasnya? Apakah pantas merampas permen dari mulut seorang anak yang membelinya dengan uang tabungan sendiri?

Tentu saja aksi para pejabat itu wajar dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral bila, dan hanya bila, negara hadir dengan kebijakan dan program pengembangan yang memadai bagi kelompok warga difabel. Tidak saja warga difabel fisik seperti Putri Ariani. Tapi juga warga difabel mental semisal anak-anak dengan spektrum autisme, asperger, hiperaktif (ADHD), dan down syndrome?

Mari periksa satu hal yang paling dasar. Berapa jumlah warga difabel di Indonesia? Untuk tahun 2020, menurut data BPS ada 22.5 juta jiwa sedangkan WHO melaporkan 27.3 juta jiwa atau 10 persen dari populasi. Mana yang benar?

Katakanlah jumlah warga difabel Indonesia sekitar 10 persen dari populasi. Lantas, pertanyaannya, berapa persen dari itu yang tergolong kategori difabel mental? Jumlah warga difabel mental, terutama kelompok usia anak-anak, paling sulit diketahui. Kalaupun ada datanya, sama sekali tak akurat, dalam arti banyak yang tak terdata.

Jika data warga difabel saja tak akurat, bagaimana mungkin negara hadir meelayani mereka dengan program-program pengembangan yang relevan? Sejauh ini pemerintah paling menyediakan unit-unit pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Tapi itu kan terbatas untuk warga difabel fisik.

Lalu bagaimana dengan warga difabel mental? Ada kebijakan sekolah inklusi, menyertakan anak difabel mental di dalam sekolah-sekolah reguler. Tapi pernahkah dievaluasi senyaman dan seaman apa anak-anak difabel di sekolah dengan kurikulum umum yang instruktif? Apakah mereka mendapat ruang untuk berkembang sesuai dengan potensi, minat, keinginan, dan kemauannya? Belum lagi ada kemungkinan mereka menjadi korban bullying fisik dan verbal.

Hanya bila negara telah melayani kebutuhan tumbuh-kembang anak-anak difabel, terutama difabel mental, secara layak maka ucapan selamat pemerintah kepada seorang anak difabel, atas raihan prestasi nasional dan internasional, menjadi wajar dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Jika tidak demikian, maka ucapan selamat itu akan terbaca sebagai kapitalisasi keberhasilan perjuangan mandiri seorang difabel untuk kepentingan politik praktis. Dan itu, harus dikatakan, immoral.

Industri Hiburan yang Diskriminatif

Beredar kisah Putri Ariani kerap mengalami diskriminasi saat mengikuti kontes-kontes menyanyi semasa anak-anak. Juri mencari-cari kelemahan yang tak ada kaitan dengan kualitas vokal dan teknik menyanyi. Semisal model outfit dan koreografi. Tujuannya agar dia kalah.

Kontes-kontes menyanyi dalam negeri, bagian dari industri hiburan kita, memang diskriminatif. Pemenang harus yang terbaik dan ukuran terbaiknya adalah sempurna dalam aspek vokal, teknik menyanyi, tampilan, dan kondisi fisik. 

Ukuran kondisi fisik secara khusus jelas tidak adil bagi para kontestan difabel. Mereka cenderung akan dikalahkan, hanya karena dinilai tidak atau kurang good looking. Mungkin itu yang menjadi alasan bagi Putri untuk tak mengikuti ajang Indonesian Idol. Dia tahu ajang itu berpihak pada mereka yang rupawan, tanpa cacat fisik, dan bersuara bagus. 

Tapi tentu saja selalu ada saja jalan untuk keadilan. Seterjal apapun itu.

Ajang Indonesia Got Talent (IGT) 2014 adalah jalan keadilan untuk Putri. Dari namanya saja, ada frasa got talent, ini sudah pasti -- harusnya begitu -- ajang "penemuan bakat". Bakatnya yang utama, bukan tampilan fisiknya.

Juri IGT 2014 memang kemudian berpihak pada bakat musikal Putri. Hasilnya, dia keluar sebagai juara pada usia 8 tahun. Terimakasih untuk para juri IGT 2014 -- Jay Subiyakto, Anggun C. Sasmi, Indi Barends, dan Ari Lasso -- yang benar-benar profesional.

Apakah setelah menjuarai AGT 2014 karier Putri langsung melesat di blantika industri musik pop Indonesia? 

Tidak! Industri musik pop kita lebih memilih mengorbitkan penyanyi-penyanyi perempuan tanpa cacat fisik, cantik seksi atau sekurangnya good looking-lah, dengan modal suara yang, yah, "bisa dipoleslah di studio".

Begitulah cara kerja diskriminasi dalam industri hiburan musik Indonesia.

Untungnya Putri Ariani bukan generasi Z varian "strawberry" yang gampang "luka dan remuk". Dia semacam "super-Z" yang mampu bangkit dan berjuang meraih impuan dengan memanfaatkan berkah IoT. Maka lahirlah album perdananya, Melihat dengan Hati, 16 Oktober 2020, dalam format digital. Album itu diproduksi di bawah label Satria Piningit Records, bukan label mayor; mungkin indie, atau mungkin juga bukan label musik.

Single "Loneliness" yang menggemparkan AGT 2023 itu juga dirilis dalam format digital tahun 2021. Sudah dilantunkan juga beberapa kali dalam kesempatan.

Lagu itu menyatakan keterlepasan diri Putri dari anggapan minor orang lain terhadap dirinya. Dengan kekuatan diri sendiri, dan dukungan total kedua orangtuanya (yang mundur dari pekerjaan), dia percaya suatu saat mampu meraih impuan menjadi the great. Meraih Grammy Award seperti idolanya, Whitney Huston.

Kalangan industri hiburan kita dolu boleh menertawakan Putri sebagai pemimpi buta. Tapi Putri baru saja membungkam mulut mereka dengan prestasi Golden Buzzer di AGT 2023. Simon Cowell, kendati sejumlah orang mempertanyakan keputusannya, tentu tidak asal-asalan memencet tombol idaman itu. Dia profesional, juga punya intuisi kuat, sehingga mau membukakan jalan menuju sukses untuk Putri.

Lalu lihatlah dunia industri hiburan kita yang diskriminatif dan munafik itu. Sekarang berbagai stasiun televisi dan podcast berlomba-lomba mengundang Putri, atau sekurangnya nimbrung mengabarkan kesuksesannya -- sebagian dengan bumbu-bumbu clikbait dan sweet-hoax. 

Dulu gak dianggap, sekarang diangkat-angkat. Soalnya, apa saja info tentang Putri sekarang bisa mendulang viewers. Dan hukum algoritmanya adalah more viewers more money. Putri Ariani is money. Begitulah industri hiburan kita memandang Putri.

Dalam kasus Putri Ariani, industri hiburan kita hari ini jelas bukan produsen. Tapi konsumen barang jadi. Putri "menjadi" dulu atas jerih-payah sendiri dengan dukungan keluarganya. Setelah "menjadi" (Golden Buzzer AGT), berbagai pihak di industri hiburan tanpa taumalu berebut mencuil manfaat darinya. 

Wasanakata

Dalam masyarakat Batak ada satu pepatah yang nadanya pedas. Katanya, "Ido bangkoni halak hita. Situnjang naung gadap, sitogu naung jongjong." Artinya, "Begitulah tabiat bangsa kita. Menginjak yang terjerembab, menuntun yang berdiri."

Pepatah itu pantas menjadi renungan bagi kita, khususnya kalangan pemerintah sebagai representasi negara dan pelaku industri hiburan di tanah air. Tak pantas mengelu-elukan Putri Ariani dengan intensi penghargaan semu. Sebab di baliknya ada kepentingan pemetikanmanfaat politis dan ekonomis dari buah jerih-payah seorang anak bangsa di tengah kendala difabilitasnya.

Keberhasilan Putri selayaknya menjadi inspirasi. Inspirasi bagi pemerintah, agar mengambil dan menjslankan kebijakan khusus untuk pengembangan potensi kelompok warga difabel. 

Kebetulan kini ada program "Merdeka Belajar". Bolehlah kita meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk merancang dan menjaankan program "Merdeka Belajar" khusus kelompok anak difabel.

Inspirasi bagi pelaku industri hiburan khususnya musik dalam negeri. Berhentilah bersikap diskriminatif terhadap kaum difabel yang berbakat seni musik. Berhentilah muncuil manfaat dari sukses mandiri individu-individu difabel. Dukunglah mereka untuk meraih impiannya, sejauh secara obyektif hal itu rasional. Jadilah produser yang adil. 

Kita pernah mengenal para difabel yang berjaya di dunia hiburan. Di aras internasional ada Ray Charles, Stevie Wonder, Jose Feliciano, dan Andrea Bocelli, untuk menyebut beberapa. Di aras nasional pernah ada penyani pop Ramona Purba di era 1980-an dan penyanyi dangdut Asep Irama tahun 1990-an.

Jangan pernah lagi menginjak yang terjerembab tapi menuntun yang berdiri. Masih sangat banyak "Putri" lain yang terjerembab dengan potensinya. Angkatlah dan tuntunlah. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun