Ah, ini saran khas pecinta tikus. Karena itu aku berpikir untuk mengirim tikus itu ke Bu Naz(arotin) di mBlitar. Dengan harapan, berkat cintanya, tikus itu nanti akan berubah menjadi pangeran ganteng.
Kalau benar jadi pangeran ganteng, enaknya diapain, ya. Bu Naz kan gak boleh poliandri macam Teteh NN nu ti Cianjur tea. Â
Suyono Apol: "... karena perangkapnya itu dari logam, ya disetrum aja, "teeet...!" selesai. (Koq nyetrum bisa bunyi?). Atau gini. Tikus kalau diracun akan mati di sembarang tempat yang tidak terduga dan menjadi bau. Nah, kalau sudah dalam perangkap, baru diracun, bangkainya terlokalisasi."
Ide yang mengagumkan. Di luar pikiran kenthirku.
Tapi hukuman setrum itu mungkin lebay. Mahal pula. Harus nyiapin kursi listrik segala.Â
Diracun? Ah, dua kali kerja. Â Rugi umpan perangkap dan racun tikus. Tak sesuai dengan prinsip hukuman mati yang mudah dan murah.
Lagi pula lokalisasi itu, setahuku, bukan tempat tikus mati.
Budi Susilo: "Ya sudah, dikerangkeng saja sampai ia menyatakan insaf kepada Engkong. Dengan pernyataan di atas materai."
Sumpeh! Gue demen banget usulan Kang Budi ini. Mengingatkanku pada jagoan-jagoan yang sangar menggerebek rumah ibadah atau warung remang-remang. Begitu ditangkap polisi, langsung letoy minta tandatangan surat maaf bermeterai Rp 10.000.Â
Isti Yogiswandani: "Buang ke sungai."
Hadeuh! Ini tikus, Bu Isti. Bukan ikan. Tikus dibuang ke sungai, bisa mati, dong. Kasihan, kan?