Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Minum Miras Itu Perlu, Mabuk Itu Sia-Sia

29 Mei 2023   15:56 Diperbarui: 29 Mei 2023   16:57 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang Batak minum tuak di lapo tuak (Foto: via Wikipedia.org)

Minum minuman keras (miras) itu bukan dosa. Sejauh itu dilakukan dan dinikmati dalam konteks tradisi budaya. --Felix Tani

Mungkin kamu tak sepakat dengan pandangan di atas. Karena kamu melihat miras dari sudut pandang agama yang mengharamkannya. Aku bisa memakluminya.

Biarlah kita beda pandangan.  Dalam agama yang kuanut, pemimpin ibadah tiap hari Minggu minum seteguk anggur merah di hadapan umatnya. Dalam konteks itu, miras adalah keharusan. 

Tapi aku tak hendak berlindung di balik ajaran agama untuk menerima atau sebaliknya menolak miras. Ini sepenuhnya soal sosio-budaya. Soal bagaimana miras ditempatkan dan mendapat tempat dalam konteks budaya lokal.

Aku akan memaparkannya berdasar pengalaman subyektifku sebagai orang Batak. Silahkan disimak tanpa pretensi negatif.

***

Miras pertama dan utama bagi orang Batak adalah tuak nira. Tuak nira akan mengandung alkohol sekitar 5-20% setelah kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon) direndam di dalamnya. 

Tuak adalah miras adat dalam budaya masyarakat Batak di Tanah Batak sana.  Tuak disajikan dalam setiap upacara adat ritus peralihan. Mulai dari kelahiran, perkawinan, manulangi (menyulangkan makanan kepada orangtua yang sudah uzur),  kematian, sampai mangongkal holi (menaikkan tulang-belulang dari makam tanah ke rumah belulang). 

Lazimnya tuak dihidangkan oleh boru (pihak penerima istri) kepada hula-hula (pihak pemberi istri). Istilahnya tuak tangkasan aek sitio-tio, tuak baru yang segar dan jernih. Itu simbol harapan baik di masa depan.

Jadi jelas tuak dihidangkan dalam upacara adat sebagai simbol harapan baik. Bukan untuk mabuk-mabukan. Sebab jika tetamu mabuk tuak, nistalah upacara adat itu. Orang akan mencela orang-orang mabuk itu sebagai manusia-manusia tak beradat.

Di lapo tuak, para lelaki Batak minum tuak juga bukan untuk mabuk, tapi untuk pergaulan sosial. Orang Batak menilai mabuk itu pertanda tak mampu mengendalikan diri. Sesuatu yang dinilai buruk. Sehingga lazim seseorang yang minum berlebihan akan diingatkan temannya, agar tak sampai mabuk.

Tapi, ya, begitulah. Ada saja orang bermasalah dan menganggap tuak sebagai solusi temporal instan untuk segala masalah. Maka mabuklah dia, melupakan masalah yang sebenarnya masih lekat padanya.

Terhadap orang seperti itu, teman-temannya cuma bisa menasihati.  Sekalian mengantarnya pulang ke rumah agar tak tertidur di selokan atau kandang babi. Walau kerap juga istrinya -- dalam kasus sudah menikah -- ogah buka pintu. Ujung-ujungnya tidur di kolong rumah juga dia.

***

Tuak dan kebatakan itu ibarat darah dalam tubuh. Sejauh masih di kampungnya di Tanah Batak sana, agak sulit membayangkan tenggorokan seorang lelaki Batak steril dari aliran tuak.

Minum tuak tak mesti di lapo tuak. Tapi seperti disinggung di atas, bisa juga dalam acara-acara adat. Tak perlu juga banyak. Segelas cukuplah.  

Aku mengalami minum miras semasa SMA. Waktu itu minum tuak, tentu saja. Tapi juga miras lain, produk pabrikan seperti anggur kolesom "Vig**r" atau "Ora** Tua" dan kamput (cap Kamb**g Put**").  Anggur kolesom dan kamput itu tergolong miras kerakyatan di Tanah Batak.

Ada jadwalnya. Minum miras pabrikan biasanya pas malam Minggu dengan teman-teman. Yah, namanya "anak muda" rasanya tak sah kalau tak minum miras (dan merokok). Minum miras, cukup segelas, tanda dewasa.

Minum tuak lazimnya hari Minggu sore. Pagi ke gereja, sore hari raun-raun lalu minum tuak di lapo. Kontradiktif? Tidak juga. Cuma minum, kan. Tak sampai mabuk.

Jamak di kampungku pada hari Minggu sore anak muda, perjaka dan perawan, jalan-jalan sore. Sambil saling lirik dan sapa, mana tau ada yang cocok di hati. Kalau cocok, nanti lanjut martandang, perjaka tandang ke rumah perawan.

Sebagai gambaran, baiklah aku ceritakan satu pengalaman minum miras. 

Pada suatu malam Minggu, aku dan empat orang teman sepantaran menumpang truk bak terbuka ke Desa Jangga Dolok. Kira-kira 10 km jauhnya ke selatan Panatapan, kampungku di Toba.

Intensi kami mendampingi seorang teman, sebut saja namanya Jonggi, martandang ke rumah seorang gadis di Jangga Dolok. Sesampai di sana, kami putuskan untuk minum miras dulu, agar Si Jonggi punya keberanian berhadapan dengan gadis pujaannya itu. 

Tapi sial, Si Jonggi itu rupanya tipe lelaki dengan syaraf otak kelewat halus. Baru minum setengah gelas anggur kolesom, sudah tenggen dia, limbung dan mulai kacau omongannya.  Katanya dia bukan mau martandang, tapi mau langsung melamar gadis pujaannya itu.

"Bah, sudah mabuk dia. Kacau nanti itu. Sudah, kita pulang saja," usulku pada teman-teman. Semua setuju, kecuali Si Jonggi yang sudah menenggak habis sisa anggurnya.

Lalu kami hentikan lagi truk bak terbuka. Si Jonggi kami lemparkan ke atas bak truk, seperti melemparkan seekor babi yang akan dijual ke pasar. Sepanjang jalan pulang, Si Jonggi berteriak-teriak protes. Masa bodolah.

Tiba kembali di Panatapan, Si Jonggi masih meracau. Minta dikawinkan. Lha, lulus SMA saja belum. Kerjaan tak punya. Lagian gadis pujaannya itu belum tentu mau, kan.

Karena dia tak mau diam, kami mampir lagi ke kedai. Pesan anggur kolesom lagi. Minum lagi, sampai Si Jonggi tergeletak mabuk di teritisan kedai, setelah mengosongkan gelas keduanya malam itu.

Begitulah. Kami menggunakan miras untuk membungkam mulut Si Jonggi. Itu pilihan terbaik. Sebab mustahil memukul rahangnya sampai semaput tanpa risiko giginya rontok atau goyah. 

Besok paginya, Si Jonggi sudah waras. Kami ketemu lagi di gereja memuliakan nama Tuhan. Tak ada lagi omongan dia mau kawin dengan gadis pujaannya. Dia malah khusuk berdoa di depan patung Bunda Maria.  

***

Bagiku dan teman-teman sekampung dulu, minum miras itu sarana pergaulan sekaligus kontrol diri. Kontrol diri agar tak sampai mabuk. Sebab kalau sudah mabuk, tak ada lagilah itu pergaulan. Macam mana pula bicara dengan orang mabuk bisa dibilang bergaul.

Minum miras itu dulu bagi kami terbilang proses pendewasaan. Belajar mengendalikan diri dan tanggung-jawab pada diri sendiri. 

Mabuk minum miras itu tanda ketakdewasaan. Tak mampu mengendalikan diri. Juga tanda tak bertanggung-jawab pada diri sendiri.

Setelah dewasa dan kerja, aku merasakan juga manfaat lain. Manfaat sosial-budaya dalam konteks interaksi sosial dengan etnis lain.

Sewaktu melakukan riset sosial di Wolowaru, Ende Flores, tahun 1990 saya kerap dijamu secara adat oleh tokoh-tokoh adat kampung (mosalaki dan riabewa). Salah satu ritual dalam jamuan itu adalah minum moke, sulingan air tuak lontar. Kadar alkoholnya bisa mencapai 40 persen. 

Minum moke yang disajikan para tua-tua adat itu adalah simbol saling-menerima secara sosial. Dengan menyajikan moke, berarti tetua adat menerima kehadiranku. Dengan meminum moke, berarti aku masuk ke dalam rumah mereka. 

Beruntung aku sudah agak terbiasa dulu minum tuak, anggur kolesom, dan kamput. Saraf otak sudah cukup terlatih. Jadi, saat minum moke, santai saja seperti para tetua adat yang meminumnya seperti minum air mineral. Kerongkongan memang serasa dibakar, dan kepala serasa disentak . Tapi tak sampai mabuklah. Apa jadinya jika peneliti mabuk di antara informan riset? Malu kalipun itu.

Apakah aku sedang menganjurkan minum miras di sini? Sama sekali tidak. Aku cuma mau berbagi cerita bahwa dalam konteks sosial-budaya tertentu minum miras itu perlu dan harus. Tapi dilarang mabuk. Sebab mabuk selalu berujung pada kesia-siaan.(eFTe)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun