Ada dua titik pedestarian yang disulap menjadi ruang duduk pengunjung bagi dua warung yang berada di belakang rumah-rumah besar. Dilengkapi meja, kursi, dan aneka tanaman hias. Pengunjung warung bisa duduk santai di situ sambil makan atau minum.Â
Aku melongok ke aliran Kali Pepe di kiri bawah jalan. Â Tampak tangga turun menuju dermaga perahu wisata sungai. Dulu perahu itu pernah beroperasi, waktu debit air memungkinkan. Sekarang mustahil. Debit air terlalu kecil. Sebagian dasar kali muncul ke permukaan.
Selepas jembatan Jalan Arifin, aliran Kali Pepe itu berbelok ke selatan, melewati pemukiman di sisi selatan Pasar Gede, sebelum akhirnya menyatu ke Bengawan Solo.Â
Menurut cerita tua-tua kampung, air Kali Pepe itu pernah memerah di tahun-tahun penumpasan PKI pada paruh kedua 1960-an. Merah oleh darah tertuduh anggota PKI korban pembantaian. Â Tapi itu ceritanya (his story), belum sejarah (history). Kebenarannya perlu diperiksa.
Tiba di mulut Jalan Wentar, aku melongok ke kiri dan ke kanan. Di kiri, menduduki trotoar di ujung jembatan, ada Si Mbok penjual cabuk rambak, jajanan ringan khas Surakarta. Dulu, seingatku, tempat itu diokupasi penjual serabi Solo.
Meski ngiler, kupimpin langkahku belok kanan menyusur trotoar di sisi timur gedung Radio PTPN Rasitania. Radio rintisan mahasiswa kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional (PTPN) itu berdiri tahun 1968. Dia terbilang radio swasta pelopor di Surakarta. Dulu namanya Radio Riset Fakultas Kedokteran PTPN.Â
Sempat ikut membantu kalangan penerbangan yang menggunakan jalur gelombang radio, kini PTPN Radio 99.60 FM hadir sepanjang hari menghibur warga Surakarta dengan lagu-lagu hit. Â
Belok kanan ke depan gedung Radio PTPN, aku meneruskan jalan pagi menyusur Jalan Saharjo, melawan arus searah menuju barat.Â