Sebuah kota yang pernah kau diami atau singgahi mesti punya sebuah titik kenangan dalam ingatanmu.Â
Semisal titik itu adalah sebuah gang sempit, mungkin itu dulu tempatmu memadu kasih dengan si dia yang telah mencampakkanmu begitu saja.
Pahit, kenanganmu pahit benar. Tapi itu tadi cuma pemisalan, kan?
***
Senin, 15 Mei 2022 di Kebalen, Surakarta.
Hari masih pagi, bahkan terlalu pagi. Baskara belum muncul dari peraduannya di balik Gunung Lawu. Tepi langit di timur Surakarta baru semburatkan rona jingga lembut malu-malu.
Aku melangkah dari rumah di tengah gang kecil itu. Â Menyusur gang lurus ke utara, ke Jalan Wentar yang melintang dari Jalan Arifin di timur ke Jalan Kusumoyudan di barat.
Tanah pemukiman di gang ini adalah bagian dari sejarah Kraton Surakarta. Walau mungkin tak penting-penting amat.
Cikal-bakal pemukiman itu adalah seorang pemuda desa dari Wonogiri. Dulu, untuk perbaikan nasib, dia datang ke halaman depan kraton kasunanan Surakarta. Lalu dia laku pepe, duduk diam berjemur, di situ. Seorang pangeran menemuinya dan, kemudian, Â menjadikannya abdi dalem.
Pucuk dicinta ulam tiba. Tak hanya dijadikan abdi dalem. Dia juga dinikahkan dengan salah seorang selir pangeran itu. Lalu diberi tanah magersari seluas 2,500 m2 di sebelah utara kraton. Tepatnya di bantaran selatan Kali Pepe. Sekarang diapit Kali Pepe/Jalan Wentar di utara dan Jalan Saharjo di selatan.
Kemudian hari, tanah magersari itu diwariskan merata kepada empat anak lelakinya. Seiring perjalanan waktu, keturunan dari tiga anak menjual tanah itu kepada pendatang. Sekarang, hanya keturunan dari seorang anak yang masih bertahan di situ.
Gang kecil itu menjadi semacam demarkasi sosial di Kebalen. Blok sebelah timur gang adalah hunian orang kaya. Rumah-rumah di situ besar-besar. Semua menghadap ke selatan, ke Jalan Saharjo. Bagian belakangnya berbatasan langsung dengan Jalan Wentar/Kali Pepe.Â
Sementara blok di barat gang itu adalah pemukiman warga kebanyakan. Â Tergolong pemukiman padat dengan ukuran rumah dari kecil sampai sedang.
Begitulah sejarah sosial sebuah gang hunian di Kebalen.
***
Kutemukan langkahku sudah menapak pangkal gang di Jalan Wentar.  Dari situ  ada tiga pilihan. Ke kiri menuju Kusumoyudan. Atau ke kanan menuju Jalan Arifin. Atau, pilihan yang mungkin bisa viral, terjun bebas ke dasar Kali Pepe.
Tapi untunglah aku bukan seorang Tiktoker. Sehingga aku masih cukup waras untuk tak terjun ke Kali Pepe.
Aku pilih belok kanan, menapaki Jalan Wentar ke arah Jalan Arifin di timur. Sebelah kanan jalan adalah belakang rumah-rumah besar yang mukanya menghadap Jalan Saharjo di selatan. Sebelah kiri jalan adalah pedestarian conblock yang menyusur badan Kali Pepe.Â
Pedestarian yang teduh oleh pohon-pohon penaung itu tampak asri. Â Di bawah pohon-pohon itu pemerintah kota menyediakan bangku-bangku besi untuk tempat leyeh-leyeh.
Aku melongok ke aliran Kali Pepe di kiri bawah jalan. Â Tampak tangga turun menuju dermaga perahu wisata sungai. Dulu perahu itu pernah beroperasi, waktu debit air memungkinkan. Sekarang mustahil. Debit air terlalu kecil. Sebagian dasar kali muncul ke permukaan.
Selepas jembatan Jalan Arifin, aliran Kali Pepe itu berbelok ke selatan, melewati pemukiman di sisi selatan Pasar Gede, sebelum akhirnya menyatu ke Bengawan Solo.Â
Menurut cerita tua-tua kampung, air Kali Pepe itu pernah memerah di tahun-tahun penumpasan PKI pada paruh kedua 1960-an. Merah oleh darah tertuduh anggota PKI korban pembantaian. Â Tapi itu ceritanya (his story), belum sejarah (history). Kebenarannya perlu diperiksa.
Tiba di mulut Jalan Wentar, aku melongok ke kiri dan ke kanan. Di kiri, menduduki trotoar di ujung jembatan, ada Si Mbok penjual cabuk rambak, jajanan ringan khas Surakarta. Dulu, seingatku, tempat itu diokupasi penjual serabi Solo.
Meski ngiler, kupimpin langkahku belok kanan menyusur trotoar di sisi timur gedung Radio PTPN Rasitania. Radio rintisan mahasiswa kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional (PTPN) itu berdiri tahun 1968. Dia terbilang radio swasta pelopor di Surakarta. Dulu namanya Radio Riset Fakultas Kedokteran PTPN.Â
Sempat ikut membantu kalangan penerbangan yang menggunakan jalur gelombang radio, kini PTPN Radio 99.60 FM hadir sepanjang hari menghibur warga Surakarta dengan lagu-lagu hit. Â
Belok kanan ke depan gedung Radio PTPN, aku meneruskan jalan pagi menyusur Jalan Saharjo, melawan arus searah menuju barat.Â
Sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi rumah-rumah gedung besar. Dulu, pada masa kolonial, kawasan ini adalah pemukiman tuan-tuan Belanda. Setelah kemerdekaan, muncul orang-orang Cina dan beberapa pribumj Jawa sebagai pemukim baru.
Sebagian dari rumah-rumah itu kini telah menjadi rumah tua kosong tanpa penghuni. Beberapa tak terawat dan mengalami pengeroposan di sana-sini. Â Sayang sekali, rumah-rumah bersejarah terlantar begitu.
Di antara yang masih terawat, terdapat rumah keluarga I.J. Kasimo, pahlawan nasional, pendiri Partai Katolik, mantan Menteri Pertanian, juga mantan Menteri Perdagangan pada masa Orde Lama. Beliau antara lain terkenal dengan Kasimo Plan, rencana produksi pangan di Sumatera Timur dalam tiga tahun (1948-1950).
Lalu ada juga gedung asrama guru dan karyawan Marsudirini. Menurut tuturan orang-orang tua, gedung asrama itu dulunya adalah Tangsi Belanda.
Tak terasa, langkah kakiku pagi itu sudah mencapai ujung selatan gang pemukiman tempatku singgah.
Aku segera belok kanan, menyusur gang, kembali ke rumah.
***
Sambil duduk menyeruput segelas teh manis di teras rumah, aku bersyukur telah melewatkan pagi di Kebalen dengan cara yang elok. Â
Barangkali, jalan pagi semacam itu bisa dikategorikan jalan pagi susur sejarah. Sebuah jalan kaki yang membawa pikiran ke masa lalu lewat penglihatan empirik hari ini. Semacam jalan kaki psikis yang menyehatkan.
Tapi mengapa harus di Kebalen?
Sederhana saja. Kebalen itu adalah titik kenangan tentang Surakarta dalam ingatanku.
Ikatan pernikahan telah membuatku katut pulang kampung ke Kebalen. Itu bisa menjelaskan mengapa ada orang Batak bisa pulang kampung ke Surakarta. (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI