Pagi, Sabtu 6 Mei 2023. Cuaca cerah di lapangan parkir ICE BSD City, Pagedangan Tangerang. Sorot mentari pagi sempurna dari timur.
Saya, seorang warga Baby Boomers, terheran-heran sekaligus takjub menyaksikan laku jibaku massa otaku. Massa itu, warga Gen Y dan Z, adalah para penekun hobi. Atau, secara spesifik, penggemar berat sub-kultur manga, anime, novela, musik, dan video game asal Jepang.
Sabtu itu adalah kesatu dari dua hari Comic Frontier atau Comifuro ke-16 Indonesia yang dihelat pada 6-7 Mei tahun ini. Massa otaku tadi sedang mengantri tiket di lapangan parkir ICE BSD City.
Kepala antrian itu melebar seperti kepala king cobra di sepanjang sisi timur lapangan parkir, mengarah ke loket tiket. Lalu badan dan ekor antrian memanjang berkelok-kelok ke sisi selatan hingga sisi barat gedung ICE. Mereka yang beruntung berada di kepala antrian adalah para otaku yang sudah duduk di situ sejak subuh.
Untungnya, anak gadisku yang kuantar pagi itu tak terbilang dalam antrian. Dia, mungkin otaku juga, terlibat di Comifuro 16 sebagai agggota kelompok produsen dan penjual artwork dan merchandise otaku. Punya pass masuk sendiri, tak perlu antri tiket.
***
Comifuro (CF) adalah konvensi dōjinshi Indonesia. Dōjin (Jepang), disebut juga circle (Inggris), adalah kelompok kesamaan minat, aktivitas, hobi, atau prestasi. Di Jepang sendiri, istilah dōjin merujuk pula pada karya terbitan indie, antara lain manga, novela, musik, dan video game.
Diadakan dua kali setahun di Jakarta, Comifuro dihelat sejak 2012. Pada awalnya dia adalah bagian dari acara Gelar Jepang, program gelar budaya Jepang yang diselenggarakan Pusat Studi Bahasa Jepang UI.
Sejak gelaran ketiga, Comifuro dilepas dari acara Gelar Jepang UI. Dia menjadi helatan independen. Sekalian menjadi anggota International Otaku Expo Association. Ini asosiasi pameran internasional, ajang kumpul massa otaku.
Mengambil venue di Hall 8-10 ICE BSD City, Comifuro 16 menggelar aneka kegiatan. Antara lain pasar dōjin, pertunjukan cosplay, stan perusahaan, musik, dan talkshow industri kreatif komik dan animasi.
Pasar dōjin menghadirkan para kreator, korporasi, start-up, dan komunitas. Mereka berinteraksi dengan pengunjung, khususnya fandom (kelompok penggemar), lewat ragam kegiatan dan penjualan karya-karya asli antara lain komik, artwork, dan merchandise.
Komunitas dan kelompok otaku yang hadir meramaikan Comifuro 16 sangat beragam. Ada komunitas Yostar Multiverse, Riichi Indonesia, Ngumpul Ngomik, dan Gelud - Fighting Game Enthusiasts. Lalu para VTuber kondang dari agensi Hololive dan grup Maha5. Serta sejumlah grup musik antara lain Rokurokuroku, Anisong, DJ Vibetronik, YoRI, dan Little Harmony Orchestra.
Tak ketinggalan, tentu saja pertunjukan cosplay (costume play) yang menghadirkan para cosplayer Indonesia. Dalam antrian di lapangan parkir ICE BSD City saya sempat melihat sejumlah karakter manga, anime, dan video game bersiliweran. Ada Marin Kitagawa (My Dress Up Darling), Rin Tohsaka (Fate Stay Night), Itachi Uchiha (Naruto), Shiro (No Game No Life), Howl (Howl's Moving Castle), Manjiro Sano (Tokyo Revengers), dan banyak lagi yang saya tak kenal.
Sungguh, saya tidak kenal banyak tokoh-tokoh manga, anime, dan video game Jepang yang cosplayernya bersiliweran di depan mataku. Bukan saja karena saya warga Baby Boomers yang kudet, tapi juga karena tak pernah tahu karakter-karakter manga dan anime kecuali Doraemon, Ninja Hattori dan Naruto.
***
Sembari tetap heran dan takjub, saya bertanya-tanya, motif apa gerangan yang menggerakkan para otaku itu, sehingga mereka tabah berjibaku mengantri tiket masuk ke arena Comifuro 16.
Motif rasional ekonomi, rasional nilai, afeksi, atau tradisi? Barangkali, motifnya tak selalu tunggal. Tapi mungkin kombinasi rasional ekonomi, rasional nilai, dan afeksi.
Simpulnya, saya pikir adalah kreativitas. Comifuro 16 itu, bagaimanapun adalah sebuah kegiatan ekonomi kreatif dari, oleh, dan untuk para otaku.
Comifuro itu adalah ajang ekspresi kreativitas, pemasaran produk kreatif, dan pemanggungan konten kreatif seputar sub-kultur manga, anime, musik, dan video game Jepang.
Para otaku memetik manfaat dalam bentuk dan cara yang berbeda-beda dari helatan Comifuro 16. Para produsen dan penjaja komik, artwork, dan merchandise memperoleh pendapatan dan laba (rasional ekonomi). Para cosplayer mendapatkan perhatian, kepuasan, dan follower instagram (rasionalitas nilai dan afeksi). Penyelenggara mendapat cuan dan nama.
Otaku kini telah berkembang menjadi sebuah industri kreatif raksasa dengan jangkauan internasional. Riset lama dari Media Create (2007) menunjukkan nilai penjualan dalam industri otaku mencapai US$ 1.65 miliar. Tidakkah itu sangat menggiurkan?
Sambil mengamati polah para otaku itu, terpikir olehku betapa tepatnya kebijakan pemerintah mendorong pengembangan industri kreatif di Indonesia. Bidang industri itu paling relevan untuk menampung kreativitas Gen Y dan Z. Terlebih Gen Z yang kini mulai memasuki era "Merdeka Belajar", sebuah era yang memicu dan memacu kreativitas.
Jibaku massa muda otaku di lapangan parkir ICE BSD City itu, demi sebentuk gelang tiket Comifuro 16, menyadarkan saya betapa Gen Y dan Z rela dan tabah berjibaku demi mencapai tujuan kreativitas.
Itulah makna di balik jibaku otaku Gen Y dan Z mengantri tiket Comufuro 16 sejak subuh sampai menjelang tengah hari.
Mendikbudristek Nadiem Makarim sangat sadar hal itu. Maka dia menggulirkan kebijakan dan program "Merdeka Belajar" tadi. Pertanyaannya, sejauh mana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif meresponnya dengan kebijakan dan program yang setimpal? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H