"Semua keputusan pembelajaran dan pembinaan karakter mahasiswa harus berorientasi pada pembentukan pemimpin masa depan. Konsentrasinya adalah pemerdekaan mahasiswa belajar sesuai kepentingan, kemauan, dan minatnya. Sehingga saat mahasiswa lulus sudah jelas bagaimana kemampuan, kesuksesan, dan karakternya."  -Mendikbudristek Nadiem Makarim,  disarikan dari  pidato pada Pelantikan Rektor UI, 4 Desember 2019.
Aku tak menyesal terlahir pada 1960-an untuk kemudian mengalami pendidikan instruksional, transfer sains dari otak pengajar ke benak pelajar di ruang kelas tertutup.
Sejarah menunjukkan setiap kemajuan berpijak pada keterbelakangan.  Demikianlah pendidikan instruksional itu kini menjadi pijakan bagi program progresif  bernama "Merdeka Belajar". Â
Semarak Merdeka Belajar kini membuatku antusias. Sebab Tiur (pseudonim), anak gadisku, beruntung kuliah saat program "Kampus Merdeka (Belajar)" mulai diterapkan.
Berkat program itu mahasiswa  kini dimerdekakan belajar.  Tidak lagi terkungkung dalam tembok "menara gading" yang dibangun perguruan tinggi.
Hanya melalui jalan "merdeka belajar" itulah kompetensi dan karakter mahasiswa dapat berkembang hingga mencapai kriteria kualitas pemimpin masa depan.Â
Hak Belajar Mahasiswa di Luar Kampusnya
Ada empat gugus program Kampus Merdeka yang diluncurkan Kemendikbudristek. Pertama, deregulasi pembukaan program studi baru; kedua, deregulasi sistem akreditasi perguruan tinggi; ketiga, Â fasilitasi perguruan tinggi negeri badan hukum; keempat, fasilitasi hak belajar mahasiswa tiga semester di luar program studi (prodi) atau kampusnya.
Dari empat gugus program tersebut fasilitasi mahasiswa belajar di luar prodi/kampus adalah kunci sukses Kampus Merdeka. Program itu sungguh memerdekakan  mahasiswa belajar sesuai kemauan, kepentingan, dan minatnya.
Program tersebut adalah solusi masalah irrelevansi di perguruan tinggi. Â Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, irrelevansi itu merujuk fakta gelar tak menjamin kompetensi, kelulusan tak menjamin kesiapan bekerja, akreditasi tak menjamin mutu, dan masuk kelas tak menjamin belajar. [1]
Secara spesifik terkait dunia usaha/kerja, irrelevansi itu menurut Mendikbudristek merujuk fakta, pertama, hanya 20 persen ilmu yang dipelajari mahasiswa relevan dengan kebutuhan dunia usaha/kerja. Kedua, hanya 25 persen  lulusan S1 yang bekerja sesuai prodinya. [2]
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!