Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengapa Puisi Ayah Tuah Tak Menjadi Artikel Utama?

3 Mei 2023   13:09 Diperbarui: 3 Mei 2023   15:28 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar judul puisi Ayah Tuah di Kompasiana (Dokpri)

Aku geram. 

Ah, tidak. Sejujurnya, aku murka. Murka pada Admin Kompasiana. 

Tapi aku bilang saja geram. Sebab aku membayangkan gender Admin itu adalah perempuan. Banyak orang bilang perempuan itu senang dibohongi tipis-tipis. Aku harap mereka salah.

Aku geram beberapa hari setelah membaca puisi anggitan kompasianer Ayah Tuah. Judulnya "Membayangkan Banyak Perjalanan", tayang di Kompasiana pada 28 April 2023.

Jujur, aku menemukan diriku dalam larik-larik dan bait-bait puisi itu. Yang berkisah tentang anak Minang Sumatra yang, bersama ibu dan saudara-saudaranya, mengadu untung di metropolitan Jakarta. 

Tapi Jakarta terlalu angkuh. Hanya memberi jembatan penyeberangan baginya untuk mengasong. Lalu kemurahan yang teramat murah dari pabrik kata-kata yang sudi mengagihkan puisi-puisi dan cerita-ceritanya.

Cinta? Hm, Jakarta adalah pasar cinta. Hanya ada satu cara mendapatkan cinta di metropolitan ini. Beli! Itu berarti uang. Dan nilai jual puisi dan cerpen hanya cukup untuk semangkuk bakso. 

Tapi dia tahu masih ada cinta di Tanah Jawara, juga di Ranah Minang. Maka ke sanalah dia berlabuh, ke Lebakwana Banten, meneladan ibunya yang kembali kepada cinta pertama, tanah leluhur.  

Aku pikir, puisi Ayah Tuah itu telah memanggungkan kisah perih dan getir, sarat peluh dan air mata, para perantau yang bermimpi menaklukkan Jakarta. Sampai kemudian mereka tersadar di perempatan jalan, saat melihat lampu merah tak kunjung padam untuk mereka. 

Maka hanya ada dua pilihan bagi perantau. Menepi ke pinggiran kota, atau pulang kampung berputih mata.  Ayah Tuah memilih menepi ke Banten, tanah para jawara, menghunus golok menodong Jakarta yang pelit.

Aku bukan pakar puisi. Pun tak paham puisi. Keahlianku merusak puisi. Untuk menjaring pembaca yang senang tertipu. 

Tapi subyektivitasku, intuisiku, membisikkan puisi "Membayangkan Banyak Jalan"  gubahan Ayah Tuah itu adalah "Puisi"dengan P-besar. Pilihan dan anyaman diksi, majas, dan  pesannya jauh di atas rata-rata. 

Itu yang membuatku geram. Sebab intuisiku mengatakan puisi itu lebih dari layak untuk menjadi Artikel Utama di Kompasiana.

Aku berkata begitu, bukan karena berkawan dengan Ayah Tuah. Bukan.  Kami musuhan. Karena dia selalu mencerca puisiku. Sekalipun dia tahu itu bukan puisi.

Aku tahu, Ayah Tuah itu pengagum Mbak Widha Karina, kurator puisi Kompasiana. Mudah-mudahan Ayah Tuah tak sampai meragukan kompetensi Mbak Widha. Lantaran meluputkan puisi tadi.

Mudah-mudahan, ya, semoga.

Oh, ya.

Aku tetap geram. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun