Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Filosofi Bahu Pijakan dan Pikiran Terbuka dalam Praksis Pendidikan

12 April 2023   08:23 Diperbarui: 14 April 2023   14:31 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses belajar-mengajar di kampus (Foto: Dok. UPH via kompas.com)

Sains bukanlah soal fanatisme, melainkan keterbukaan untuk menilai dan menerima kebenaran-kebenaran saintifik baru. Mustahil menerima kebenaran baru apabila berpegang fanatik pada kebenaran lama.

Itu sebabnya diminta untuk membuka pikiran. Otak dibuka untuk menerima dan mengakumulasi hal-hal baru, tapi dengan sikap kritis. Dengan sikap kritis dimaksud adalah predisposisi untuk menilai aspek-aspek logika (epistemologi) dan etika (nilai, aksiologi) pada suatu teori, konsep, dan temuan empirik sains.

Frasa "kepala kosong pikiran terbuka" dengan demikian menunjuk pada prinsip demokrasi dalam proses pendidikan atau khususnya proses ajar (belajar dan mengajar). Maksudnya, proses ajar sebagai praksis pendidikan adalah proses komunikasi, pertukaran gagasan secara dua arah. Antara pengajar (yang belajar juga dari pelajar) dan pelajar (yang juga mengajar pengajar).

Secara sederhana bisa dikatakan proses ajar di kelas atau luar-kelas haruslah semakin mencerdaskan baik bagi pengajar maupun pelajar. Proses yang menuntun pengajar dan pelajar untuk selalu mengakumulasi sains terbarui dalam otaknya.

Wasanakata

Dengan mengadopsi filosofi "bahu pijakan" dan "pikiran terbuka" dalam praksis pendidikan, khususnya pengajaran, saya tak bermaksud menolak atau menegasikan trilogi pendidikan "panutan - penyemangat - pendorong".

Bukan begitu. 

Saya hanya punya kendala sosiologis, juga psikologis, untuk memahami dan menerapkan trilogi pendidikan itu. Bahwa ada rekan pengajar yang mampu memahami dan menerapkannya, dan itu mungkin banyak, maka saya terbuka belajar dari mereka.

Intinya saya tak mampu menjadikan diri sebagai panutan, penyemangat, dan pendorong yang baik bagi mahasiswa. Secara moral itu terlalu berat untukku, seorang manusia biasa.

Jika kemudian saya mengadopsi filosofi "bahu pijakan" dan "pikiran terbuka" untuk praksis pendidikan, khususnya pengajaran, hal itu semata karena alasan keduanya masuk akal (logis) dan bermoral (etis) untuk ukuranku.

Dan kalau dipikir-pikir sekarang, bukankah kedua filosofi itu kongruen dengan prinsip-prinsip "Merdeka Belajar" yang kini dipromosikan Mendikbudristek Nadiem Makarim? (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun