Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mario Dandy, Timnas U-20, dan Mentalitas Menerabas

9 April 2023   13:17 Diperbarui: 10 April 2023   13:52 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "mentalitas menerabas" saya tahu dari buku Prof. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas  dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974). Buku itu saya baca tahun 1980 sebagai rujukan pelajaran Sosiologi Pedesaan.

Prof. Koentjaraningrat menyebut "mentalitas menerabas" itu sebagai salah satu ciri anti-pembangunan dalam budaya masyarakat Indonesia. Dengan "mentalitas menerabas" dimaksudkannya adalah kecenderungan orang Indonesia mengambil "jalan pintas", dalam arti negatif, untuk mencapai tujuan tertentu.

Misalnya begini. Anak bodoh (tapi kaya) lulusan SMA membayar seorang joki untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi atas namanya. Nah, perjokian itu adalah wujud "mentalitas menerabas", penggunaan "jalan pintas".

Atau kasus yang sedang viral. Orang miskin yang ingin cepat kaya, pergi ke dukun pengganda uang, alih-alih bekerja keras. Dukun pengganda uang -- juga aneka pesugihan -- adalah cermin mentalitas menerabas.

Boleh dibilang, mentalitas menerabas adalah predisposisi -- kecenderungan sikap dan tindakan -- menghalalkan segala cara di luar kewajaran untuk mencapai tujuan. Seseorang yang bermental penerabas cenderung menyimpang dari norma sosial (kebiasaan, tatalaku, adat/hukum) demi tujuan. 

Saya teringat pada istilah "mentalitas menerabas" itu saat mengikuti pemberitaan tentang Mario Dandy yang menganiaya David Ozora dan, kemudian, Timnas Indonesia U-20 yang merisak Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (dan Gubernur Bali I Wayan Koster). 

Dua kasus yang membuat saya masygul karena keduanya sama-sama menunjuk pada gejala mentalitas menerabas.  Hanya beda aras: kasus Mario di aras keluarga sedangkan kasus Timnas U-20 di aras negara.

Saya akan jelaskan di bawah ini.

***

Cara sederhana  mengenali mentalitas menerabas pada individu atau kelompok adalah dengan menjawab pertanyaan ini. Apakah raihan (achivement) individu atau kelompok itu sebanding dengan upayanya (effort)? 

Jika raihan sangat tinggi, sementara upayanya sangat rendah, maka besar kemungkinan itu hasil mentalitas menerabas. Itu sesuatu yang dicapai lewat proses tak sewajarnya yaitu jalan pintas atau terabasan.

Mari kita periksa kasus Mario. Pada usia 20 tahun, tanpa riwayat pendidikan dan kerja yang meyakinkan,  dia sudah memiliki segalanya diukur dari status ekonomi atau gaya hidup. Punya (akses) motor gede, mobil R**icon, usaha kos-kosan mewah, outfit mewah, dan tentu saja uang melimpah.  

Jika ada anak muda tak punya pekerjaan tapi kaya raya, maka patut dipertanyakan dari mana sumber hartanya. Mentalitas menerabas dalam lingkungan keluarga sangat mungkin adalah jawabannya.

Dalam kasus Mario, proses kerja mentalitas menerabas itu terjadi dalam dua langkah. Langkah pertama, orangtuanya diduga mendapatkan kekayaan luar biasa (Rp 56 miliar) lewat cara ilegal. Kini ayahnya, Rafael Alun, sudah menjadi tersangka gratifikasi dan ditahan oleh KPK.

Langkah kedua, sebagai bagian dari pola asuh dalam keluarga, dengan modal kekayaan orangtua yang melimpah, Mario bisa menikmati  gaya hidup mewah dengan mudah dan cepat. Dari sisi orangtua hal itu disebut pemanjaan. Tapi dari sisi Mario hal itu disebut jalan menerabas demi nikmat gaya hidup mewah.

Gejala itu dikenal sebagai proses ajar nilai dalam keluarga, dari orangtua kepada anak. Jika ayah bermental terabas, maka anak juga (diajari) begitu. 

Orang bilang itu pewarisan karakter dari orangtua kepada anak. Tapi hal itu sejatinya adalah proses ajar nilai dalam keluarga, disebut juga pola asuh.

Mirisnya, proses ajar yang melestarikan mentalitas menerabas itu ternyata tak hanya terjadi di aras keluarga, seperti kasus Mario. Tapi terjadi juga di aras negara, seperti kasus Timnas U-20.

Hal itu terungkap dari respon punggawa Timnas U-20, serta pengurus teras PSSI, terhadap pembatalan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala DuniaU-20.  

Begini. Selain sedih dan kecewa, terbit juga rasa marah pada diri skuad Timnas U-20. Sebab mereka kehilangan kesempatan besar untuk bermain di ajang sangat bergengsi yaitu Piala Dunia.

Hokky Caraka, salah seorang pemain, agaknya bisa merepresentasikan kekecewaan Timnas U-20. Dia lantas menuding penolakan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo terhadap Timnas Israel sebagai biang keladi pembatalan Piala Dumia U-23 di Indonesia. 

Lalu dia menyindir Ganjar dengan mengatakan gubernur itu sudah hidup enak. Sementara para pemain Timnas U-20 baru merintis karirnya. Tapi Ganjar telah menghancurkan batu loncatannya.

Hokky juga bilang sudah tiga tahun meninggalkan sekolah demi Indonesia. Kalau sampai sepakbola Indonesia dibekukan FIFA, dia katanya tak punya ilmu apa-apa untuk bekal profesi lain.

Ada satu pertanyaan krusial tentang respon punggawa Timnas U-20 itu. Apakah keikutsertaan mereka di Piala Dunia, yang disebut Hokky "batu loncatan", diperoleh sebagai hasil kerja keras?

Tidak, sama sekali tidak. Seandainya itu hasil kerja keras, mestinya Timnas U-20 lolos ke babak Semifinal Piala Asia U-20 2023. Faktanya tim kita langsung gugur di fase grup. Itu artinya Timnas U-20 belum pantas untuk level Asia. Jangan kata untuk level Piala Dunia.

Tapi jangankan di level Asia, sih. Untuk level Asia Tenggara saja Timnas U-20 (U-19) Indonesia belum mampu mengukir prestasi juara. 

Lantas bagaimana  caranya agar Timnas U-20 yang miskin prestasi itu bisa bermain di ajang Piala Dunia?

Ambil jalan pintas saja: berjuang dengan segala upaya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Maka timnas tuan rumah akan mendapat privilese otomatis lolos ke Piala Dunia. Tak perlu harus bersusah-payah melewati beratnya laga-laga kualifikasi.

Itulah yang terjadi pada Timnas U-20 Indonesia. PSSI dengan dukungan penuh pemerintah berjuang dan berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Dengan demikian tim kita mendapat privilese langsung lolos ke Piala Dunia. 

Timnas U-20 Indonesia tak perlu harus berdarah-darah melakoni laga kualifikasi. Tidak seperti, misalnya, Timnas U-20 Israel yang ditolak masuk ke Indonesia itu.

Privilese Timnas U-20 bermain di Piala Dunia itu adalah indikasi mentalitas menerabas di aras negara (state). Negara, dalam hal ini direprentasikan  PSSI dan pemerintah, telah "membeli" satu jatah di Piala Dunia untuk Timnas U-20. Jatah yang selayaknya hak timnas negara Asia lain yang prestasinya di atas Timnas U-20 Indonesia.

Tiada maksud merendahkan Timnas U-20 di sini. Saya hanya mau menunjukkan fakta bahwa tim tersebut sebenarnya tak akan lolos ke Piala Dunia jika PSSI/pemerintah tak mengambil langkah khas mentalitas menerabas. Apakah itu pantas dibanggakan?

***

Heran, sedih, dan tak habis pikir. Bayangkan, sudah setengah abad berlalu sejak Prof. Koentjaraningrat mengingatkan soal mentalitas  menerabas itu. Sudah enam presiden nemimpin Indonesia sejak itu. Tapi mentalitas itu masih lestari. Bahkan semakin ke sini semakin menjadi-jadi.

Indikasinya antara lain adalah kejahatan korupsi yang semakin parah. Itu dilihat dari segi kuantitas dan kualitasnya. Indeks persepsi korupsi dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun, menjadi 34 (sama seperti tahun 2014) setelah sempat naik (membaik) ke angka 40 tahun 2019. 

Lalu gejala pamer harta atau kemewahan, termasuk flexing, di media sosial. Itu adalah indikasi hasil kerja mentalitas menerabas di lapisan menengah/atas masyarakat kita. Khususnya di "kelas menengah" semu yang lahir abnormal.  

Mentalitas menerabas agaknya telah menjadi semacam virus jahat yang menjangkiti masyarakat bangsa kita di semua aras. Indikasinya adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang meruyak. Terjadi sejak dari aras mikro (individu, keluarga, perusahaan), aras meso (parpol, ormas), sampai aras makro (institusi-institusi negara).

Sebagai refleksi saja. Coba cermati "keributan" antara Hokky Caraka dan Ganjar Pranowo. Sebagai solusi, Ganjar menawarkan pekerjaan untuk Hokky di perusahaan daerah Jateng. Itu jelas indikasi mentalitas menerabas, dilihat dari sisi Ganjar ataupun Hokky (andai dia menerima). Kategorinya nepotisme, bedasar relasi Ganjar dan Hokky yang ditafsir sebagai hubungan bapak dan anak.  

Hal itu mengingatkan saya pada istilah kapitalis klien dari R. Robison (Indonesia, The Rise of Capital, Sidney: Allen and Unwin, 1986) atau kapitalisme semu dari Y. Kunio (The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia, Singapore: Oxford University Press, 1988).

Dua istilah itu menunjuk pada gejala politik ekonomi yang sama yaitu kemunculan kelompok elite pengusaha baru. Elit itu lahir sebagai buah persekongkolan koruptif, kolutif, dan nepotis pengusaha klien dengan elite birokrat sebagai patronnya. 

Hasilnya, pengusaha klien semakin kaya berkat surplus, birokrat patron mendadak kaya berkat rente. Sementara ekonomi mayoritas rakyat relatif jalan di tempat, karena angka pertumbuhan yang tinggi dibarengi oleh angka rasio gini yang tinggi juga. 

Tapi pengusaha klien atau kapitalis semu itu, karena produk mentalitas menerabas, sejatinya juga kekuatan yang rapuh. Terbukti, saat krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 terjadi, kelompok kapitalis semu itu langsung ambruk dan memperparah kerusakan ekonomi nasional.

Kasus Mario dan Timnas U-20 itu menyadarkan kita, atau sekurangnya saya sendiri, betapa mentalitas menerabas telah membangun rumah ekonomi nasional yang terlihat megah tapi tiang dan fondasinya sungguh rapuh. 

Menjadi pertanyaan kini, ke mana perginya revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi tahun 2014? Sudah hampir genap 10 tahun beliau menjadi presiden, tapi mentalitas menerabas justru semakin subur. Apakah berlebihan jika saya katakan revolusi mental itu hanyalah revolusi di bibir?

Tahun ini bangsa dan negara kita akan merayakan ulang tahun ke-78 kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda. Tapi kita rupanya tetap belum bisa merayakan kemerdekaan dari mentalitas menerabas.

Saya membayangkan, almarhum Prof. Koentjaraningrat hanya bisa bersedih melihat bangsa ini dari "atas" sana. (eFTe)

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun