Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mario Dandy, Timnas U-20, dan Mentalitas Menerabas

9 April 2023   13:17 Diperbarui: 10 April 2023   13:52 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Heran, sedih, dan tak habis pikir. Bayangkan, sudah setengah abad berlalu sejak Prof. Koentjaraningrat mengingatkan soal mentalitas  menerabas itu. Sudah enam presiden nemimpin Indonesia sejak itu. Tapi mentalitas itu masih lestari. Bahkan semakin ke sini semakin menjadi-jadi.

Indikasinya antara lain adalah kejahatan korupsi yang semakin parah. Itu dilihat dari segi kuantitas dan kualitasnya. Indeks persepsi korupsi dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun, menjadi 34 (sama seperti tahun 2014) setelah sempat naik (membaik) ke angka 40 tahun 2019. 

Lalu gejala pamer harta atau kemewahan, termasuk flexing, di media sosial. Itu adalah indikasi hasil kerja mentalitas menerabas di lapisan menengah/atas masyarakat kita. Khususnya di "kelas menengah" semu yang lahir abnormal.  

Mentalitas menerabas agaknya telah menjadi semacam virus jahat yang menjangkiti masyarakat bangsa kita di semua aras. Indikasinya adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang meruyak. Terjadi sejak dari aras mikro (individu, keluarga, perusahaan), aras meso (parpol, ormas), sampai aras makro (institusi-institusi negara).

Sebagai refleksi saja. Coba cermati "keributan" antara Hokky Caraka dan Ganjar Pranowo. Sebagai solusi, Ganjar menawarkan pekerjaan untuk Hokky di perusahaan daerah Jateng. Itu jelas indikasi mentalitas menerabas, dilihat dari sisi Ganjar ataupun Hokky (andai dia menerima). Kategorinya nepotisme, bedasar relasi Ganjar dan Hokky yang ditafsir sebagai hubungan bapak dan anak.  

Hal itu mengingatkan saya pada istilah kapitalis klien dari R. Robison (Indonesia, The Rise of Capital, Sidney: Allen and Unwin, 1986) atau kapitalisme semu dari Y. Kunio (The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia, Singapore: Oxford University Press, 1988).

Dua istilah itu menunjuk pada gejala politik ekonomi yang sama yaitu kemunculan kelompok elite pengusaha baru. Elit itu lahir sebagai buah persekongkolan koruptif, kolutif, dan nepotis pengusaha klien dengan elite birokrat sebagai patronnya. 

Hasilnya, pengusaha klien semakin kaya berkat surplus, birokrat patron mendadak kaya berkat rente. Sementara ekonomi mayoritas rakyat relatif jalan di tempat, karena angka pertumbuhan yang tinggi dibarengi oleh angka rasio gini yang tinggi juga. 

Tapi pengusaha klien atau kapitalis semu itu, karena produk mentalitas menerabas, sejatinya juga kekuatan yang rapuh. Terbukti, saat krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 terjadi, kelompok kapitalis semu itu langsung ambruk dan memperparah kerusakan ekonomi nasional.

Kasus Mario dan Timnas U-20 itu menyadarkan kita, atau sekurangnya saya sendiri, betapa mentalitas menerabas telah membangun rumah ekonomi nasional yang terlihat megah tapi tiang dan fondasinya sungguh rapuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun