Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Korupsi, Tindakan Ilegal-Rasional, dan Urgensi Perampasan Aset Koruptor

29 Maret 2023   15:47 Diperbarui: 30 Maret 2023   12:16 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resistensi pemerintah terhadap UU Perampasan Aset adalah pembiaran terhadap kejahatan ekonomi, politik, dan kemanusiaan dan, karena itu, merupakan bentuk sabotase terhadap proses-proses pembangunan nasional. - Felix Tani

Dalam sebuah percakapan di WAG, seorang teman berpendapat bahwa korupsi adalah budaya.

Berada di seberang pendapat itu, saya lantas bertanya pada teman tersebut, apa dasar argumennya. 

Karena tak dijawab, saya lalu berasumsi teman itu telah merujuk pada pendapat banyak orang yang mengatakan korupsi sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia. 

Pendapat itu didasarkan pada fakta korupsi terjadi secara berkelanjutan, dari masa ke masa, dan meluas ke semua tingkatan birokrasi pemerintah dan swasta di Indonesia.

Tapi itu suatu kesimpulan yang sesat logika (logical fallacy) dalam dua tingkatan. 

Pertama, pada tingkatan penyimpulan, sebuah perbuatan tidak serta-merta dapat disimpulkan sebagai budaya hanya karena terjadi terus-menerus. Jika perbuatan itu anti-kemanusiaan, maka dia anti-budaya.

Kedua, pada tingkatan perujukan, sebuah kesimpulan tak bisa dianggap logis dan benar hanya karena sudah menjadi pendapat banyak orang (appeal to popularity).

Jadi, untuk penegasan, korupsi bukan budaya ragam suku bangsa ataupun bangsa Indonesia.

Andai kata korupsi adalah budaya, maka pelarangan korupsi dan penghukuman koruptor adalah penegasian dan penistaan budaya. Penangkapan koruptor niscaya akan dinarasikan sebagai kriminalisasi pengemban budaya.

Jauh dari budaya, saya akan tunjukkan bahwa korupsi itu adalah tindakan ilegal-rasional instrumental. Suatu perbuatan melawan hukum, yaitu penggunaan dana/barang publik untuk kepentingan pribadi, sehingga harus ditindak secara hukum.

Dalam konteks itu, kehadiran dan penegakan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor menjadi sangat relevan dan urgen.

Saya akan coba jelaskan satu per satu.

Korupsi sebagai Tindakan Ilegal-Rasional Instrumental

Karena korupsi adalah tindakan sosial individu maka, untuk memahaminya, saya merujuk pada konsep tindakan sosial rumusan sosiolog Max Weber.

Weber telah membedakan empat tipe tindakan sosial individu berdasar motif subjektif yang mendasarinya:

  • Tindakan rasional instrumental yang didasari perhitungan untung-rugi. 
  • Tindakan rasional altruistik yang dituntun keyakinan pada suatu nilai sosial.
  • Tindakan afektif yang dipicu oleh kondisi/orientasi emosi individu. 
  • Tindakan tradisional yang dilakukan sebagai tradisi turun-temurun.

Jelas korupsi bukan tindakan altruisme yang dituntun oleh keyakinan atas suatu nilai sosial, semisal nilai agama. Bukan pula tindakan afektif yang dituntun emosi. Juga bukan tindakan tradisional yang merujuk tradisi budaya.

Korupsi itu lebih sebagai tindakan rasional instrumental ekonomis. Tapi bukan tindakan legal-rasional, selaras aturan, melainkan illegal-rasional, menyalahi aturan. 

Ringkasnya, korupsi adalah tindakan penguasaan hak (uang/barang) publik, dengan cara menyiasati risiko hukum, demi meraih manfaat ekonomis bagi diri sendiri. 

Dengan begitu korupsi sebagai tindakan sosial mengandung tiga sifat berikut:

  • Illegal: melanggar hukum formal, peraturan perundang-undangan.
  • Rasional: memperhitungan risiko dan manfaat; risiko hukum berupa biaya pengadilan/penjara jauh lebih kecil dari manfaat berupa akumulasi hasil korupsi.
  • Instrumental: mengambil hak publik untuk memperkaya diri sendiri.

Dengan sifat-sifat seperti itu, sangat jelas korupsi itu adalah kejahatan berdimensi ganda. 

Pertama, kejahatan ekonomi karena mencuri uang yang seharusnya untuk kepentingan publik. 

Kedua, kejahatan politik karena bersifat subversif terhadap kelangsungan pembangunan bangsa. 

Ketiga, kejahatan kemanusiaan karena merampas hak kemakmuran rakyat.

Dengan dimensi korupsi semacam itu, maka sudah sepatutnya koruptor diganjar dengan hukuman seberat-beratnya. Termasuk menurunkan status ekonominya pada tingkat sewajarnya. Caranya, negara merampas seluruh asetnya yang diperoleh melalui tindakan korupsi. 

Tapi faktanya di Indonesia hukuman koruptor umumnya ringan. Data lansiran ICW (2020) menunjukkan rerata vonis penjara koruptor oleh Kejaksaan adalah 3 tahun dan oleh KPK 5 tahun. Jauh dari patokan undang-undang: suap maksimal 5 tahun, merugikan negara maksimal 20 tahun sampai seumur hidup.

Dikutip dari katadata.co.id untuk tahun 2021 kerugian negara Rp 62.1 triliun sedangkan uang pengganti hanya Rp 1.4 triliun (2.25%). 

Berdasar data di atas, dapat disimpulkan koruptor menang banyak -- pakai banget. Karena itu, kalau bisa korupsi, kenapa tidak?

Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset

Dari data di atas sangat jelas bahwa koruptor itu kaya-raya sebelum tertangkap lalu masuk penjara (sebentar) dan masih tetap kaya-raya setelah keluar dari penjara.

Karena itu, sebagai tindakan rasional instrumental, dikatakan korupsi adalah kegiatan ekonomi ilegal yang sangat menguntungkan. Terlebih lagi jika tak tertangkap. Atau koruptor itu sebegitu licin dan liciknya sehingga lolos dari jerat hukum di pengadilan.

Tambahan, sebelum dan sesudah terpenjara, koruptor lazim tampil sebagai sosok Good Samaritan, penolong baik hati yang gemar berderma. Masyarakat menjadi lupa sejarah kekayaan koruptor itu dan, karena itu, secara tak langsung menjadi permisif pada kejahatan korupsi. Itu sebabnya ada koruptor yang sukses menjadi anggota dewan dan kepala daerah.

Ada adagium untuk koruptor begini: penjara serasa asrama, miskin serasa neraka. Implikasinya, bagi koruptor lebih baik masuk penjara daripada jatuh miskin.

Itu artinya pemenjaraan tak akan menimbulkan efek jera pada koruptor dan calon-calon koruptor. Sebab bagi mereka, penjara adalah biaya (cost) yang sewajarnya dibayar demi manfaat (benefit) berupa surplus ekonomi (harta berlimpah).

Penjelasan untuk gejala "kenyamanan koruptor" itu terletak pada dasar hukum penanganan tindak pidana korupsi -- yaitu UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Nomor 1/2022 tentang KUHP -- yang bertumpu pada pendekatan "lacak tersangka" (follow rhe suspect).

Fokus pendekatan "lacak tersangka" adalah pembuktian tindak pidana korupsi oleh tersangka sebagai dasar vonis pidana badan atau pemenjaraan. Pendekatan ini berfokus pada tersangka saja, sementara jaringan dan aktor intelektual korupsinya tak tersentuh. Akibatnya, selain banyak pelaku korupsi yang tak tersentuh, hasil korupsi yang bisa dibongkar juga kecil. 

Untuk mendukung efektivitas penanggulangan korupsi, sekaligus menimbulkan efek jera lewat mekanisme perampasan aset (pemiskinan), maka diusulkan melengkapi pendekatan "lacak tersangka" dengan pendekatan "lacak uang" (follow the money).

Fokus pendekatan "lacak uang" adalah aliran transaksi uang. Pendekatan ini mengandalkan analisis keuangan, antara lain akuntansi forensik, untuk melacak aliran uang hasil tindakan illegal (koruptif) antar aktor korupsi dalam suatu jaringan. 

Karena itu, selain mampu menemukan uang hasil korupsi, untuk kemudian dirampas untuk negara, pendekatan ini juga mampu menjaring lebih banyak pelaku korupsi.

Gagasan untuk menerapkan pendekatan "lacak uang" di Indonesia sebenarnya sudah diinisiasi tahun 2012. Ditandai dengan masuknya RUU Perampasan Aset sebagai legislasi prioritas di DPR. Tapi sampai hari ini RUU itu tak kunjung disahkan.

Ada segudang alasan yang dikemukakan atas penundaan UU tersebut. Mulai dari beda persepsi antar lembaga (kejaksaan, kepolisian, kehakiman, KPK), keterbatasan sumber daya manusia, sampai ketaksiapan institusi. Semua itu alasan yang remeh-temeh yang bisa diatasi dengan mudah dan cepat, sepanjang ada komitmen politik yang kuat.

Resistensi pemerintah, baik eksekutif maupun judikatif dan legislatif, terhadap UU Perempasan Aset diduga berpangkal pada kekhawatiran UU itu akan menjadi bumerang bagi aparat pemerintah sendiri. Sebab bukankah mayoritas koruptor ada di lingkungan pemerintahan?

Jika benar ada resistensi semacam itu, maka tiga hal bisa disimpulkan.

Pertama, tindakan korupsi itu telah dilanggengkan oleh pemerintah sendiri.

Kedua, dengan melanggengkan korupsi maka pemerintah telah membiarkan -- dan karena itu terlibat dalam -- terjadinya kejahatan ekonomi, politik, dan kemanusiaan dalam birokrasi pemerintah.

Ketiga, dengan membiarkan terjadinya kejahatan ekonomi, politik, dan kemanusiaan dalam birokrasi, maka pemerintah sendiri telah melakukan sabotase terhadap proses-proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Urgensi pengundangan UU Perampasan Aset adalah untuk mematahkan tiga kesimpulan di atas. Tapi sejauh ini belum ada tanda positif pengundangannya. Justru gejala resistensi pemerintah yang mengemuka.

Betul bahwa Presiden Jokowi, dalam konferensi pers di Istana Merdeka (7/2/2023), menyatakan dorongan agar RUU Perampasan Aset dalam Tindak Pidana dapat segera diundangkan.

Pertanyaannya, apakah dorongan itu serius?

Sebab jika Presiden Jokowi serius, mengapa dorongan mengundangkan RUU Perampasan Aset itu tak ditegaskan pada tahun 2014, saat beliau untuk pertama kalinya terpilih sebagai Presiden RI?

Jika Presiden Jokowi sejak awal fokus pada pengundangan RUU Perampasan Aset, maka negara tak perlulah kebobolan sampai ratusan triliun dalam 10 tahun terakhir. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun