Kedua, kejahatan politik karena bersifat subversif terhadap kelangsungan pembangunan bangsa.Â
Ketiga, kejahatan kemanusiaan karena merampas hak kemakmuran rakyat.
Dengan dimensi korupsi semacam itu, maka sudah sepatutnya koruptor diganjar dengan hukuman seberat-beratnya. Termasuk menurunkan status ekonominya pada tingkat sewajarnya. Caranya, negara merampas seluruh asetnya yang diperoleh melalui tindakan korupsi.Â
Tapi faktanya di Indonesia hukuman koruptor umumnya ringan. Data lansiran ICW (2020) menunjukkan rerata vonis penjara koruptor oleh Kejaksaan adalah 3 tahun dan oleh KPK 5 tahun. Jauh dari patokan undang-undang: suap maksimal 5 tahun, merugikan negara maksimal 20 tahun sampai seumur hidup.
Dikutip dari katadata.co.id untuk tahun 2021 kerugian negara Rp 62.1 triliun sedangkan uang pengganti hanya Rp 1.4 triliun (2.25%).Â
Berdasar data di atas, dapat disimpulkan koruptor menang banyak -- pakai banget. Karena itu, kalau bisa korupsi, kenapa tidak?
Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset
Dari data di atas sangat jelas bahwa koruptor itu kaya-raya sebelum tertangkap lalu masuk penjara (sebentar) dan masih tetap kaya-raya setelah keluar dari penjara.
Karena itu, sebagai tindakan rasional instrumental, dikatakan korupsi adalah kegiatan ekonomi ilegal yang sangat menguntungkan. Terlebih lagi jika tak tertangkap. Atau koruptor itu sebegitu licin dan liciknya sehingga lolos dari jerat hukum di pengadilan.
Tambahan, sebelum dan sesudah terpenjara, koruptor lazim tampil sebagai sosok Good Samaritan, penolong baik hati yang gemar berderma. Masyarakat menjadi lupa sejarah kekayaan koruptor itu dan, karena itu, secara tak langsung menjadi permisif pada kejahatan korupsi. Itu sebabnya ada koruptor yang sukses menjadi anggota dewan dan kepala daerah.
Ada adagium untuk koruptor begini: penjara serasa asrama, miskin serasa neraka. Implikasinya, bagi koruptor lebih baik masuk penjara daripada jatuh miskin.
Itu artinya pemenjaraan tak akan menimbulkan efek jera pada koruptor dan calon-calon koruptor. Sebab bagi mereka, penjara adalah biaya (cost) yang sewajarnya dibayar demi manfaat (benefit) berupa surplus ekonomi (harta berlimpah).