Saya kenal seorang Kompasianer yang selalu protes saat tulisannya menjadi Artikel Utama (AU) di Kompasiana.
Soalnya tulisannya itu, puisi (lagi dan lagi), selalu naik menjadi AU saat tengah malam. "Memangnya aku menulis puisi untuk para kuntilanak, kuntilayah, dan kuntilibu?" protesnya.
Saya tak perlulah sebut nama Kompasianer itu. Tapi Admin Kompasiana pernah bilang namanya Ayah Tuah. Ini Admin yang bilang, bukan saya.Â
Lalu ada seorang teman Kompasianer yang, saking girangnya, Â mengaku koprol keliling kamar saat pertama kali tulisannya naik menjadi AU di Kompasiana. Hasilnya, dia pusing tujuh keliling.Â
Teman itu mungkin mengira AU bisa meredam pusing akibat koprol. Logikanya pergi ke mana ya.Â
Ada lagi seorang teman, jomlo, yang mengaku langsung pede saat tulisannya tentang hantu kakartana menjadi AU. Dia langsung berlari ke desa sebelah dan menunjukkan prestasinya itu kepada nona idamannya. "Ih, ini apaan, sih?" kata nona itu dengan mulut cemberut.
Pahit, pahit, pahit. Â
Tahu respon Si Nona cuma begitu, ngapain juga lari maraton ke desa sebelah. Kan cukup di-share lewat WA. Cinta telah membuatnya gagal logika.
Saya tidak tahu siapa nama Kompasianer malang itu. Tapi orang Manggarai, Flores memanggilnya "Gui".
Itu adalah contoh-contoh reaksi Kompasianer saat tulisannya menjadi AU di Kompasiana. Ada yang marah; ada yang super-girang; ada yang bangga lalu pamer. Mungkin ada juga yang insomnia, karena kepikiran terus.