Ya, begitulah. Itu terjadi di kampungku, Panatapan (pseudonim) dan kampung-kampung sekitarnya di Uluan Tanah Batak sana.
Bukan hal baru. Setahuku hal itu sudah berlangsung sekurangnya sejak 1960-an. Tahun-tahun ketika sebagai anak kecil aku sudah menyadari kehadiran sosialku.
Jadi tidakkah itu luar biasa? Lama sebelum norma lima hari kerja per minggu dipraktekkan di kantor pemerintah dan swasta, ternyata para petani di kampungku sudah menerapkannya.
Artinya, dari segi work-life balance, Â petani di kampungku sudah jauh lebih maju dibanding pekerja kota masa kini, bukan?
Demikianlah petani di kampungku dulu bekerja di sawah atau ladang praktis  hanya lima hari dalam seminggu.Â
Hari Minggu tak bisa ditawar lagi. Itu hari libur. Bahkan Tuhan libur pada hari itu. Sehingga tak pantas bila umat-Nya bekerja pada hari itu. Wajib kebaktian ke gerejalah, liburan bersama Tuhan.Â
Maklum warga kampungku waktu itu semua Katolik. Sedangkan earga kampung tetangga, kalau bukan HKBP dan HKI, ya Pentakosta atau Bethel. Semua Kristiani.
Bagi umat Kristiani bekerja pada hari Minggu adalah dosa. Begitu persepsi imani warga kampungku. Aku sih setuju saja.
Lalu Sabtu. Kenapa pula warga petani di kampungku dan sekitarnya libur hari Sabtu? Kan warga kampungku dan sekitarnya  umat Kristiani. Bukan  umat Parmalim Batak atau Yahudi yang hari sabatnya Sabtu.