Teri Medan!
Itu ikan asin kesukaan Poltak. Sejak kecil, dulu di Panatapan, Tanah Batak sana.
Ikan teri Medan terbilang mewah waktu itu. (Sekarang juga begitu.) Belinya juga hanya bisa sekali seminggu. Pada hari Sabtu, hari pasar di Tigaraja, Parapat. Sekitar 12 kilometer di utara Panatapan.
Rindu teri Medan.
Itu perasaan mendalam Poltak, kemarin. Rindu teri Medan. Rindu masakan teri goreng sambal petai. Itu lauk favoritnya, dulu waktu kecil.Â
Untuk membayar rindu, kemarin, pergilah Poltak ke pasar di belakang rumahnya (atau rumahnya yang di belakang pasar).
Tujuannya kios ikan asin. Tak sukar ditemukan. Cukup dengan mengandalkan indra pembau. Snif snif. Endus sana endus sini, macam Snowy. Nah, ketemu kios ikan asin.
"Mari, Pak. Silahkan. Ikannya segar-segar," sambut pedagang ikan asin, seorang perempuan lansia, dengan logat Minang.
"Bah! Segar-segar? Ikan asin segar? Di mana logikanya?" pikir Poltak.Â
Tapi dia diam saja. Pantang sesama lansia berdebat. Tingkat ilmunya sama, soalnya. Â
"Ada teri Medan, Bu?" Pertanyaan basa-basi. Onggokan teri Medan, jenis teri nasi putih, sudah jelas tampak di depan mata. Masih bertanya juga.
Khas Melayu banget. Macam pemuda kipas-kipas di dalam mobil non-AC di satu siang yang terik. "Panas sekali, ya dik?" katanya pada pemudi yang duduk kipas-kipas juga di sampingnya. "Iya, bang, panas sekali."Â
Eh, kalau dingin menggigit kamu berdua gak bakalan kipas-kipas. Pelukan kaleee! Dialog gak mutu banget!
Jadi emosi!
Back to teri Medan.
"Itu ada di depan bapak," jawab perempuan lansia pedagang ikan asin itu, dengan nada suara tinggi.
"Aku dari tadi juga sudah lihat ada teri Medan di situ. Tanya kan sekadar berbasa-basi. Kok ya responnya sengit. Mau jualan atau mau berantem, sih?" Poltak mendongkol dalam hati.
"Berapa harga satu ons?"
"Maaf, ya, Pak. Ini harganya mahal. Bukan karena ibu mau jual mahal. Tapi karena ibu belinya juga sudah mahal. Jadi jualnya juga mahal."
"Ini jawaban macam apa pula," pikir Poltak mulai pening. "Aku kan tanya harga. Bukan tanya mahal atau murah?"
"Ya, mahalnya berapa?"
"Ibu ndak ambil untung banyak. Dikit saja. Kasihan pelanggan."
Astaga! "Memangnya COG, net margin, dan B/C ratio teri Medan dagangan ibu berapa, sih?"Â
Hampir saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Poltak. Dia mulai hooghspanning. Dikit lagi bisa bloeddruk.
"Iya, bu. Satu ons harganya berapa?" Poltak berjuang tabah.
"Mahal, ya, Pak. Duapuluh ribu."
"Duapuluh ribu? Murah banget!" teriak Poltak meniru gaya bual seorang penjaja aplikasi Binomo. "Beli satu ons!" katanya sambil membanting selembar uang duapuluh-ribuan ke atas gundukan ikan teri Medan.
Setelah mebeli tiga papan petai di kios lain, untuk kelengkapan menu, Poltak bergegas pulang menenteng satu ons teri Medan kerinduannya.
"Beli teri Medan satu ons saja pakai darah tinggi segala!" rutuknya, sambil membayangkan angka-angka systolis/diatolis di blood pressure monitor membubung. (*)
Â
Â