Secara sosiologis privilese itu hak istimewa yang lekat pada status sosial eksklusif yang disandang individu.Â
Bedakan dengan akses. Sebab akses itu menunjuk pada tingkat jangkauan individu terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan politik (sosekpol).
Privilese memang dapat memudahkan akses seseorang pada hak-hak sosekpol. Tapi itu hanya jika privilese eksplisit menunjuk pada hak tertentu. Semisal pada era kolonial anak-anak Belanda berhak langsung masuk Hogere Burgerschool (HBS), sedangkan anak pribumi tidak.
Pelekatan privilese pada suatu status sosial adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai hasil konsensus atau penetapan oleh suatu otoritas sosial.
Seperti halnya status sosial, secara sosiologis privilese dapat dimiliki seseorang melalui tiga cara.
Pertama, melalui kelahiran (ascribed). Jika seorang anak terlahir sebagai anak bangsawan, maka dia memiliki hak istimewa menggunakan gelar kebangsawanan. Dengan gelar itu, dia punya privilese untuk didahulukan dalam perolehan hak-hak sosekpol.
Kedua, melalui pencapaian (achived). Seseorang berupaya keras sehingga berhasil menjadi bupati di suatu daerah. Sebagai bupati maka dia mendapat sejumlah privilese yang melekat pada jabatan itu. Semisal hak untuk didahulukan dalam akses transportasi.
Ketiga, melalui pemberian (assigned). Privilese yang diberikan suatu otoritas atas dasar kondisi ataupun jasa seseorang. Semisal lansia dan perempuan hamil punya privilese mendapat tempat duduk prioritas di kereta api.
Jika merujuk pada tiga cara memperoleh privilese itu maka, secara sosiologis, Mario dan orang-orang sejenisnya sungguh tak punya privilese apapun.Â
Tak ada privilese karena kelahiran, capaian, ataupun pemberian. Dia bukan anak presiden, tak punya prestasi nasional, dan tak punya jasa signifikan bagi masyarakat.
Satu-satunya faktor kelebihannya dibanding warga kebanyakan hanyalah statusnya sebagai anak dari seorang pejabat rendah tapi super-kaya.