Jika warga etnis asli Indonesia boleh memerankan tokoh Yesus, maka sebenarnya tak ada alasan untuk mengharamkan patung Yesus berwajah etnis nusantara.
Patung Yesus di Sibea-bea Tanah Batak
Jelas bahwa dalam konteks gereja inkulturatif, patung monumental Yesus Kristus belerwajah etnis tempatan  lumrah saja.
Hanya saja, sikap imani yang "menerima begitu saja" dan "inferioritas ras" rupanya menghalangi umat Kristiani, khususnya di Indonesia, untuk membangun patung Yesus berwajah etnik lokal.
Salah satunya adalah Patung Yesus Kristus di bukit Sibea-bea, sebuah semenanjung di Danau Toba, Samosir Tanah Batak. Dari gambar-gambar rancangan yang beredar di media, patung Yesus yang direncanakan setinggi 61 meter itu mengambil sosok laki-laki kaukasoid juga.
Postur dan sikap badan patung itu akan mirip-mirip patung Christ The Redeemer di Rio, Brazil. Berdiri tegak menghadap Danau Toba, sambil merentangkan tangan sebagai sikap menerima, merangkul. dan memberkati.
Patung Yesus di Sibea-bea Samosir diproyeksikan sebagai destinasi wisata rohani. Nilai lebih yang dijual adalah ketinggian patung -- sebagai yang tertinggi di dunia -- dan keindahan alam Danau Toba.
Tak lebih dari itu. Tak jauh beda dengan patung monumental Yesus di Toraja dan Manado.
Padahal, satu nilai pembeda sebenarnya dapat dilekatkan dengan membangun patung Yesus berwajah etnis Batak. Dapat dibayangkan unik dan eksotisnya patung Yesus dengan tampilan khas seorang Raja Batak. Yesus  mengenakan sortali dan pakaian ulos Batak. Serta memegang Tunggal Panaluan sebagai tongkat gembala.
Patung Yesus berwajah Batak itu akan menjadi satu-satunya di dunia. Itu akan menjadi daya tarik luar biasa.
Mungkin ada yang berpikir patung Yesus berwajah Batak adalah cerminan etnosentrisme. Tidak, itu bukan sikap mengagungkan etnis sendiri. Tapi sikap mengagungkan Yesus Kristus di tengah etnis Batak. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H