Patung yang dibangun tahun 1931 itu kemudian menjadi model untuk patung-patung monumental Kristus di negara-negara lain.Â
Termasuk di Indonesia.Â
Sejauh ini terdapat dua patung Yesus yang monumental di Indonesia.  Pertama, patung Yesus Memberkati di Manado, Sulawesi Utara. Tinggi tubuh patung ini 34 meter, dan tinggi dudukannya 20 meter. Lebih tinggi dari patung Christ The Redeemer di Rio, Brazil.
kedua, Â patung Patung Yesus Memberkati di Makale, Tana Toraja. Patung ini berdiri di puncak Buntu Burake dengan posisi tangan terentang memberkati kota Makale di bawahnya. Â Tinggi badan patung 23 meter, sementara tinggi dudukannya 17 meter.
Lalu,Jika ada yang membedakan patung-patung monumental tersebut, maka hal itu terutama adalah tingginya. Sehingga kesan yang timbul kemudian, antar negara atau antar daerah lomba tinggi-tinggian patung Yesus. Ini mengingatkan pada "Tragedi Menara Babel".
Tak ada perbedaan sosok antropologis di antara patung-patung itu. Yesus yang ditampilkan adalah Yesus yang kaukasoid, kulit putih.
Jika bicara tentang patung Kristus di Manado dan Toraja secara khusus, mengapa bukan sosok Yesus mongoloid yang ditampilkan? Mengapa bukan Yesus berwajah Manado? Atau Yesus berwajah etnis Toraja?
Jawabannya, pertama, mungkin karena sosok Yesus kaukasoid itu sudah "diterima begitu saja". Â Sejak Misi dan Zending menyebarkan Injil ke tengah masyarakat nusantara, Yesus diperkenalkan sebagai kulit putih. Tak bisa lain dari itu.
Kedua, inferioritas mongoloid dan negroid terhadap kaukasoid. Â Umat Kristiani mongoloid menganggap tak pantas Yesus lahir sebagai ras negroid atau mongoloid. Karena itu membuat patung Yesus berwajah non-kaukasoid bisa dianggap merendahkan Yesus.
Hal terakhir ini sebenarnya aneh. Sebab bukankan pelakon tokoh Yesus dalam drama atau tablo Paskah di Indonesia, Â sebagai contoh, adalah orang Indonesia asli? Entah itu orang Batak, Jawa, NTT, Toraja, Manado, Ambon, atau Papua?