Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Permenungan Sepanjang Rel: Dari Kebayoran Lama ke Rangkasbitung

3 Maret 2023   04:36 Diperbarui: 3 Maret 2023   14:06 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[1]

Pagi-pagi benar,  7 Januari 2023

Perjalanan naik "mobol" (mobil on-line) dari Gang Sapi ke Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Aku duduk di jok depan, samping pengemudi. Istriku dan kedua anak gadis kami duduk di jok belakang.

Pengemudi "mobol" itu gemar bicara. Tapi rada aneh. Logatnya Betawi tapi royal dengan kosa kata Cina. Semacam amsiong, cuan, dan ceban. Lalu akhirnya, kamsia, saat kuberi tip ceban saat kami turun di Stasiun Kebayoran Lama.

Apakah parasku tampak begitu Cina di balik masker dan kacamata plus?

Entahlah.

Baca juga: Cerpen | Miramar

[2]

Fokus pada tujuan. 

Kami sedang dalam perjalanan ziarah ke Gua Maria Bukit Kanada (Kampung Narimang Dalam), Rangkasbitung Banten. Naik kereta api, commuter line.

Tak lama menanti di peron.  Pukul 06.48 WIB kereta tiba. Tepat waktu.

Istriku dan kedua anak gadis kami memilih duduk di gerbong wanita, paling depan. Mereka lebih nyaman berada di antara kaumnya.

Atau, bagi perempuan, ada baiknya terkadang bebas dari mahluk lelaki. Itu semacam relung healing. Semacam resiliensi psikis. Agar tegar lagi menghadapi bebalnya laki-laki.

Aku menyisih ke gerbong kedua, gerbong campuran. 

Penumpang tak ramai. Aku masih dapat tempat duduk. Di bangku untuk tiga orang. Di sampingku ada dua lelaki asing.

[3]

Sendiri, pisah gerbong dari istri dan anak.

Aku jadi punya waktu mengamati ekologi gerbong saat itu. 

Dua lelaki di bangku seberang duduk berjarak, ujung ke ujung bangku. Keduanya tertidur dengan posisi tubuh dan kepala ke arah saling menjauh. Persis komposisi tidur pasutri yang sedang bertengkar. 

Cara tidur dua lelaki di kereta (Dokpri)
Cara tidur dua lelaki di kereta (Dokpri)
Tapi itu memang komposisi tidur terbaik bagi dua lelaki. Entah mereka saling kenal atau tidak. Sebab bila mereka tidur berpelukan, apa nanti kata kondektur kereta.

Adapun kondektur itu, dia sedang berdiri di pojok kanan belakang gerbong. Asyik mengamati layar ponselnya. Entah pesan apa yang disimaknya di situ.

Yang jelas, dia tampak santai. Dan menikmati dirinya seperti itu.

Lelaki yang duduk di samping kananku terlelap. Kepalanya menjauh dari kepalaku. Harus begitu.  Sebab aku bukan muhrimnya.

Sedangkan lelaki yang duduk di samping kanannya, di ujung lain bangku, terserap oleh layar ponselnya.

Begitulah suasana gerbongku.

Senyap di balik masker masing-masing. Entah itu tenggelam dalam tidurnya. Atau terserap ke dalam layar ponselnya.

Aku pikir, gerbong kereta api komuter itu telah berubah menjadi ruang pengasingan. Setiap orang hadir di situ sendiri, tanpa melihat kehadiran orang lain. Entah dia tidur, atau terpaku ke layar ponsel.

Gerbong kereta menjadi arena individualisme (Dokpri)
Gerbong kereta menjadi arena individualisme (Dokpri)

Gerbong kereta bukan lagi ruang sosial, seperti di era komuter lama. Saat gerbong kereta masih menjadi arena transaksi dagang, panggung pengamen, relung copet. dan tempat diskusi antar penumpang dalam grup-grup kecil.

Kini, atau setidaknya saat itu, gerbong kereta komuter telah menjadi arena individualisme.

Persis seperti gerbong -gerbong kereta di negara-negara kapitalis maju.

Ah, bukankah negara kita juga sudah dilabel "orang luar" sebagai kapitalis maju?

Dan sepertinya kita bangga, bukan?

[4]

Selang 15 menit kemudian. Stasiun Sudimara.

Ingatanku terlontar ke tahun 1987. 

Tanggal 19 Oktober. Tragedi Bintaro 1, terburuk dalam sejarah perkereta-apian nasional.

Di kawasan Bintaro. Kereta api Patas Merak jurusan Tanah Abang–Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) tabrakan adu banteng dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung–Jakarta Kota (KA 225) yang berangkat dari Stasiun Sudimara. 

Kecelakaan Kereta Api di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta, 19 Oktober 1987. (Dok.TEMPO/ A Muin Ahmad/tempo.co)
Kecelakaan Kereta Api di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta, 19 Oktober 1987. (Dok.TEMPO/ A Muin Ahmad/tempo.co)

Tragedi.  Penumpang tewas 139 orang. Luka berat 254 orang.

Penyebab. Kelalaian PPKA Stasiun Sudimara. Dia memberikan tanda aman bagi KA 225. Padahal tidak  ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. 

Waktu itu rel kereta api masih jalur tunggal. Maka tabrakan tragis tak terhindarkan. 

Seandainya waktu itu rel kereta api sudah jalur ganda. Seperti sekarang ini. Dan pengaturan lalu-lintas kereta sudah terdigitalisasi.  Tidak manual. Mungkin tragedi itu tak akan terjadi.

Tapi itu pikiranku, ya.

Gerak maju teknologi itu ke masa depan. Bukan ke masa lalu. Andai waktu diputar-ulang, kejadiannya akan tetap sama.

Pada akhirnya akan kembali kepada manusianya. Sekalipun sudah di era IoT bahkan AI.  Satu kesalahan remeh oleh manusia dalam pemanfaatan internet atapun AI, akan berujung tragedi.

Kereta api Eropa sudah terdigitalisasi penuh. Toh terjadi juga kecelakaan tragis. Bermula dari manusianya.

Mengabaikan sesuatu yang disebut Edward Norton Lorenz "efek kupu-kupu". "Kepakan sayap kupu-kupu di Brasil memicu angin ribut di Texas."

[5] 

Maja, pukul 08.10 WIB

Komplek-komplek perumahan baru di sepanjang koridor kiri dan kanan rel kereta. Sejumlah pengembang perumahan berkompetisi di sana.

Apa yang kupikirkan?

Tempat yang kini disesaki beton-beton rumah itu dulu adalah hamparan tanaman pangan dan hortikultura. Padi, jagung, sayur-mayur, dan buah-buahan.

Dulu, ya, duku orang hanya makan hasil tanah itu. Sementara tanahnya tetap aman.

Sekarang?  Orang kota dengan kekuatan modalnya datang ke Maja. Bukan untuk membeli hasil bumi. Tapi untuk makan tanah, lahan pangan itu.

Pilu hati membayangkan petani-petani Maja itu. Mereka mungkin mendadak kaya dari hasil menjual lahan taninya. Tapi, pada saat bersamaan, mereka kehilangan way of life, cara hidup, sebagai petani.

Kehidupan macam apa yang akan dijalani oleh orang yang telah kehilangan cara hidupnya?

Itu seperti serdadu yang maju ke medan tempur tanpa bekal senapan.

Ngilu aku membayangkan ujung kisahnya. 

[6] 

Pukul 08.30 WIB. Kereta melambat, memasuki Stasiun Rangkasbitung. 

Pandangan mataku menyisir gerbong. Baru sadar, satu gerbong ternyata tinggal berlima. Mayoritas penumpang sudah turun di stasiun-stasiun sebelumnya. 

Terutama di Serpong, Cisauk, Parungpanjang, dan Maja. Sepertinya begitu. Aku tak perhatikan tadi.

Kereta berhenti. 

Istriku, aku, dan dua anak gadis kami bergegas turun.  Kami ingin segera tiba di Bukit Kanada.  

Di sana, di dalam gua, kami dinanti Bunda Maria. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun