Hal-hal seperti itu, kan, absolutely gak menghargai banget. Iya gak, sih?
Lalu, penghargaan dari pemerintah?
Indikatornya simpel. Apakah gaji guru sudah mencukupi untuk menyokong kehidupan yang yang layak keluarga guru dengan dua atau tiga anak? Ini guru tetap, ya. Bukan guru honorer yang nilai honornya menghina.
Kalau ada yang bilang mencukupi, lalu kenapa tak sedikit guru yang nyambi cari tambahan penghasilan. Ada yang jadi guru les, jadi supir angkot, bahkan tukang ojek? Gimana bisa fokus ngajar, coba.
Belum lagi ada larangan menerima hadiah dari murid atau ortu murid. Katanya hal semacam itu terindikasi sogokan, merendahkan harkat guru. Jadi guru itu kan harus tulus-ikhlas -- astaga, berat banget jadi guru.
Padahal hadiah-hadiah semacam itu kan lumayan, ya. Coba dipikir semisal ada murid yang menghadiahkan mobil Rub Icon. Kan lumayan banget kalau dijual, tuh. Jangan dipakai. Entar jadi arogan di jalanan, lho. Atau terangsang menganiaya guru lain yang katanya melecehkan guru kesayangan.
Lantas, kenapa sih saya mempertanyakan penghargaan pada guru itu?
Ya, karena prihatin saja.
Coba simak Kurikulum Merdeka belajar yang digagas Mas Menteri Nadiem itu. Apa targetnya? Menghasilkan Profil Pelajar Pancasila, bukan?
Profil Pelajar Pancasila itu begini: bertakwa, kreatif, gotongroyong, berkebhinekaan global, bernalar kritis, dan mandiri.
Itu artinya fungsi-fungsi Kementerian Agama, Kementerian Koperasi dan UKM, Kemendagri, BPIP, Â agama-agama, dan lain-lain dibebankan kepada guru. Selain fungsi-fungsi Kemendikbudristek, tentu saja.