Ide ini tiba-tiba muncul di benak. Sebelum lupa, maka kutuliskan.
Gara-gara terpicu artikel Porhangir Jepe sebenarnya. Tentang melawan lupa. Tapi aku lupa apa isinya. Apa coklat, susu, stroberi, atau apa, gitu.
Aku lupa persisnya. Sastrawan Minangkabau, A.A. Navis sepertinya pernah mengisahkan anekdot berikut.
Konon ada suami-istri lansia hanya tinggal berdua serumah di ranah Minangkabau sana. Semua anaknya merantau ke Jakarta.
Suatu hari, sang istri pergi ke Jakarta, mengunjungi anak-anaknya. Suaminya ditinggal sendiri.
Sebulan kemudian, si istri pulang. Langsung beraktivitas seperti biasa. Masak, nyapu, dan melayani suaminya.
Tapi suaminya diam saja. Tak menyapa istrinya sepatah kata pun. Istrinya berpikir, mungkin suaminya marah ditinggal lama.
Setelah seminggu berdiam diri, sang suami lansia itu akhirnya jebol juga amarahnya. Lalu meradang.
"He, siapa dikau berani mondar-mandir di dalam rumahku!"
***
Lupa itu karunia. Sebab memicu kita untuk mengingat sesuatu kembali.
Tapi tentu saja menyebalkan. Bahkan bisa membahayakan.
Seorang teman cerita habis diamuk istrinya. Dia mengantar istrinya ke pasar. Setelah menunggu beberapa lama, dia lalu pulang ke rumah.
Di rumah dia tak menemukan istrinya. Diteleponlah istrinya: "Heh, kamu kemana aja gak bilang-bilang!"
Tahu sendiri dong gimana reaksi istrinya.Â
"Untung istriku bisa pulang sendiri," kata teman itu menutup cerita.
Itu yang menyebalkan. Â Yang membayahakan ada. Banyak.
Ini cerita tetangga.Â
Suatu ketika istrinya goreng tempe. Tiba-tiba ada istri tetangga datang. Si istri main pergi saja ninggalin gorengannya on fire di atas kompor menyala.Â
Ternyata pembicaraan istrinya dan istri tetangga itu gayeng banget. Satu jam lebih gosip mulai dari kasus Lesti sampai kasus Sambo.
Tahu sendiri dong apa yang terjadi  di atas kompor di dapur.
Lha, suaminya kemana. "Lupa, saya kemana waktu itu, ya," jawabnya waktu kutanya.
Astaga!
***
Lupa yang instrumental paling sering terjadi pada terdakwa dan saksi di pengadilan.
Di pengadilan kasus pembunuhan Brigadir J misalnya para terdakwa kerap mendadak lupa saat ditanya hakim, jaksa, dan pembela tentang satu hal yang tak boleh dilupakan.
"Lupa, Pak Hakim."
"Lupa, Pak Jaksa."
"Lupa, Bu Pembela."
Kok, pembelanya ibu. Yah, biasanya kan gitu. Kalau anak dihakimi bapaknya, kan ibunya tampil sebagai pembela. Â
Kamu lupa?
Sudah, ah. Tulisan ini cuma draft. Ditulis 10 menit, seperti saran Amang Ino Sigaze. Nanti ditulis-ulang lagi kalau gak lupa.
Ah, bagaimana kalau kita jadikan ini topil liar K. Kamu tulislah hal- hal yang kamu sudah lupa.
Horas, Homo homini lupa! (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H