Itu pasti ulikan menarik, tapi bukan bidang keahlianku.
Saya hanya akan mengulik dari sudut pandang sosiologi.
Begini.
Sosiologi mengkonsepsikan keluarga inti sebagai grup sosial terkecil dalam masyarakat. Di atasnya ada komunitas kecil semisal dusun, lalu organisasi desa, dan seterusnya sampai negara.Â
Membentuk keluarga inti (prokreasi) itu bukan kewajiban hukum (custom). Jadi, seseorang tak akan dihukum karena, misalnya, menjomlo. Jomlo bukan kejahatan.
Begitupun, berkeluarga tak wajib hukumnya punya anak. Pasutri tak bisa dihukum, misalnya denda atau kurungan badan, hanya karena menikah tapi tak punya anak.
Seseorang memutuskan jomlo atau menikah tanpa anak, Â seperti halnya menikah dan berketurunan, Â adalah soal pilihan rasional.
Motifnya subyektif. Lazimnya terkait kondisi sosial-ekonomi. Semisal karena "biaya anak" itu sangat tinggi. Atau karena kebutuhan untuk fokus pada karier.
Pilihan itu tentu juga sudah menimbang risiko dan manfaat.
Secara sosiologis, risiko paling nyata adalah tekanan sosial. Itu terkait dengan penilaian bahwa menikah dan berketurunan adalah prestasi dan prestise sosial mulia.
Implikasinya, orang yang menikah lebih dihargai ketimbang yang tak menikah -- kecuali orang yang status sosialnya mengharuskan selibat. Â