"Puisi itu kesatuan tubuh dan jiwa. Tubuh tanpa jiwa adalah bangkai. Jiwa tanpa tubuh adalah hantu." -Felix Tani
Engkong Felix (Tani) memang sengaja mengasapi liang tapa  Daeng Khrisna (Pabichara), agar dia keluar dari situ. Â
Alasannya sahaja.
Engkong perlu kawan ribut. Sebab tak banyak Kompasianer yang bisa diajak ribut tanpa baper. Malas bangetlah ribut dengan Homo sapiens baperan macam tu.
Daeng Khrisna tak begitu. Dia tak baperan. Paling juga dia menghilang tujuhbelas purnama lagi.
Benar saja!
Diasapi terus-menerus, Daeng Khrisna akhirnya keluar juga dari liang tapanya. Sudah pasti karena dia tak sudi menjadi daging asap di dalam situ.Â
Dan ...
Pada hari pertama Daeng Khrisna kembali menganggit dan mengagihkan artikel "kata pengantar hadir" di Kompasiana, Engkong Felix sudah langsung menabuh sarang lebah. Biar para Kompasianer disengati semua.
Semua orang Turatea -- cari sendiri di mana tempat ini -- tahu "titik rangsang" Daeng Khrisna adalah puisi. Begitu dipancing bicara soal puisi, dia pasti langsung on fire.
Begitulah.
Engkong Felix lalu menulis sebuah refleksi "Menulis Puisi Itu Sulit, Sebuah Refleksi Pribadi". (K. 08.02.2023). Judulnya sudah berubah tiga kali itu. Dan dipersoalkan Daeng Khrisna.Â
Lha, itu kan cuma artikulasi hukum licentia poetica, ya. Kenapa pula Daeng ribut. Mau ngajak ribut?
Memang, itulah yang terjadi. Daeng Khrisna ribut dengan Engkong Felix. Dan kami menikmatinya.
Kamu? Ya, seperti biasa. Kamu cuma bisa kasi komen repetitif. Heran. Apa gak bisa lebih gila dikit?
Daeng Khrisna mengagihkan artikel pukulan balasan "Jangan Peduli Teori, Puisi Bukan Penjara" (K. 09.02.2023).
Itu sebuah respon satiris.Â
Tapi justru karena itu, Engkong Felix menjadi cemas. Diperlukan minimal IQ Â 80 untuk bisa menangkap pesan satiris. Masalahnya, rerata IQ orang Indonesia -- termasuk Kompasianer, dong -- Â konon hanya 78.49.
Ah, kamu simpulkan sajalah implikasinya. Engkong sudah tobat.
Qlue-nya adalah kata "jangan". Â Daeng Khrisna itu, kalau mau bilang (lisan) "jangan lupa" maka dia akan tulis "jangan ingat".
Jadi, kamu tahulah apa maksudku. Jika diminta meringkas artikel Daeng Khrisna itu dalam satu kata, maka ringkasannya adalah "Jangan!"
Atau dalam dua kata, "Jangan begitu!"Â
Ringkasan dalam bahasa Jawa sedikit njlimet: Ngono yo ngono ning ojo ngono.
Kutipan pembuka artikel ini adalah kunci. Apakah kamu sungguh menulis puisi, atau sebenarnya bangkai literasi, atau jangan-jangan cuma hantu literasi yang semayam di kepala.Â
Kamu baper? (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI