Begitulah.
Engkong Felix lalu menulis sebuah refleksi "Menulis Puisi Itu Sulit, Sebuah Refleksi Pribadi". (K. 08.02.2023). Judulnya sudah berubah tiga kali itu. Dan dipersoalkan Daeng Khrisna.Â
Lha, itu kan cuma artikulasi hukum licentia poetica, ya. Kenapa pula Daeng ribut. Mau ngajak ribut?
Memang, itulah yang terjadi. Daeng Khrisna ribut dengan Engkong Felix. Dan kami menikmatinya.
Kamu? Ya, seperti biasa. Kamu cuma bisa kasi komen repetitif. Heran. Apa gak bisa lebih gila dikit?
Daeng Khrisna mengagihkan artikel pukulan balasan "Jangan Peduli Teori, Puisi Bukan Penjara" (K. 09.02.2023).
Itu sebuah respon satiris.Â
Tapi justru karena itu, Engkong Felix menjadi cemas. Diperlukan minimal IQ Â 80 untuk bisa menangkap pesan satiris. Masalahnya, rerata IQ orang Indonesia -- termasuk Kompasianer, dong -- Â konon hanya 78.49.
Ah, kamu simpulkan sajalah implikasinya. Engkong sudah tobat.
Qlue-nya adalah kata "jangan". Â Daeng Khrisna itu, kalau mau bilang (lisan) "jangan lupa" maka dia akan tulis "jangan ingat".
Jadi, kamu tahulah apa maksudku. Jika diminta meringkas artikel Daeng Khrisna itu dalam satu kata, maka ringkasannya adalah "Jangan!"