Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Puisi Itu Sulit, Sebuah Refleksi Pribadi

8 Februari 2023   11:35 Diperbarui: 9 Februari 2023   05:47 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis puisi (Foto: Getty Images/iStockphoto/via wolipop.detik.com)

"Prose was walking, poetry dancing." -Paul Valery, Penyair Prancis [1]

Normalnya, semua orang bisa berjalan tapi hanya sedikit saja yang bisa menari.

Baca juga: Cisauk

Seperti aku, misalnya.

Maka, seturut pemahaman Valery itu, aku bukan orang yang bisa menulis puisi. 

Tapi aku, dalam usia lanjut, sedang belajar menulis puisi.

Dan itu sulit, sangat sulit bagiku. Untuk tak bilang nyaris muskil.

Baca juga: Di Bukit Kanada

Terlebih karena puisi tak punya definisi baku, atau defisini operasional. Itu malapetaka. Sebab aku menua dalam tradisi riset yang  terbiasa bekerja dalam koridor definisi konsep.

Sebenarnya bukan tak ada definisi. Ada, sih. Atau, setidaknya, ada yang berusaha mendefinisikannya.

Misalnya Howard Nemerov dalam Encyclopaedia Britannica mendefinisikan puisi begini:

"Tulisan yang meramu kesadaran imajinatif tentang pengalaman dalam bahasa yang dipilih dan dianggit untuk menciptakan respon emosional khusus lewat makna, bunyi, dan iramanya." [1]

Hei! "Kesadaran imajinatif", "pengalaman", dan "respon emosional".

Semua itu frasa-frasa yang merujuk subyektivitas. Bukan konsep-konsep yang bisa diukur secara obyektif.

Nah, kalau definisi puisi itu subyektif, maka pentakrifannya adalah kesia-siaan. Karena pada akhirnya, artikulasi puisi akan berbeda dari satu ke lain orang.

Dengan begitu, puisi dalam kenyataan adalah "moda pikir" (mode of thought) yang bersifat subyektif. Tergantung proses kreatif penyair -- sesuatu yang intuitif dan serendip.

Jadi? Ya, tak terdefinisikan. Atau, jika memaksakan definisi, maka puisi akan terbunuh.

Hal itu seperti jawaban Louis Armstrong saat ditanya definisi jazz. Katanya, "... jika kamu bertanya seperti itu, maka kamu tak akan pernah tahu jawabannya." [1]

Maka jika merujuk filsuf Paul Feyerabend, bisa dikatakan, puisi adalah pewujudan anarkisme terindah di jagad literasi. [2]

Persis seperti kata Charles Olson, penyair Amerika, "puisi adalah energi yang ditransfer dari tempat penyair menemukannya, dengan cara puisi itu sendiri, dengan segala cara kepada pembaca." [3]

Kurang anarkis apa puisi itu, coba!

Tapi di situlah letak sulitnya. Menulis anarkis itu adalah "menulis dengan cara tanpa cara". 

Dengan kata lain, penulis puisi dituntut untuk menemukan caranya sendiri.

Dan, percayalah, itu tidak pernah mudah. 

Aku sudah mengalaminya sendiri. Aku bagikan, ya.

***

Anarkis itu bukan berarti sembarangan, atau seenak udel. Ada logika, etika, dan estetika yang mesti dipertanggung-jawabkan di situ.

Tapi orang kerap salah kaprah. Berpikir menulis puisi itu mudah. Yang penting ada kata-kata indah, bait, dan rima. Jadilah itu puisi.

Tak begitu, kawan!

Begini. Ibarat manusia, puisi itu terdiri dari kesatuan tubuh (struktur) dan jiwa (nilai). Tubuh tanpa jiwa adalah bangkai. Jiwa tanpa tubuh adalah hantu.

Nah, aku dalam proses belajar menulis puisi telah menulus "puisi yang bukan puisi". Tepatnya, pseudo-puisi.

Itulah tulisan yang tubuh atau strukturnya puisi, tapi jiwa atau nilainya bukan puisi -- mungkin itu prosa menyaru puisi.

Aku menulis banyak pseudo-puisi semacam itu. Antara lain tentang sepakbola dan politik.

Salah satunya adalah pseudo-puisi "Sudah Dipastikan Tidak Ada Ijazah Atas Nama Jokowi" (kompasiana.com, 11/11/2022). Isinya begini:

"Negeri ini lagi ngeri-ngeri sedap. Ijazah Presiden Jokowi diduga palsu. Gugatan sudah didaftarkan ke pengadilan.

Presiden Jokowi tertawa getir saja. Itu sajian humor murahan di masa kenaikan harga-harga.

Jangankan palsu. Ijazah SD, SMP, SMA, dan Sarjana atas nama Jokowi pun tak pernah ada.

Periksa semua ijazah Pak Jokowi. Di situ tertulis namanya Joko Widodo. Bukan Jokowi.

Ini bukan hoaks." 

Jujur, itu adalah suatu tulisan  serupa "tubuh (puisi) tanpa jiwa (puisi)", alias "bangkai".  Hanya karena aku Kompasianer "centang biru", puisi itu otomatis mendapat label "pilihan" di Kompasiana.

Anehnya, "bangkai" itu trending di Kompasiana. Meraup hampir 6.000 views. Gila!

Tak heran Ayah Tuah, penyair favoritku di Kompasiana, meradang. Sebab untuk meraih views sebesar itu, dia harus menulis 30 puisi di Kompasiana.

Menulis pseudo-puisi semacam itu mudah saja. Setidaknya bagiku.

Tapi, dalam proses kreatifku, menulis pseudo-puisi semacam itu kusadari sebagai tindak kekerasan perkosaan terhadap puisi. Sebuah kejahatan literasi.  

Ironisnya, aku tahu itu salah dan buruk. Tapi kulakukan juga. Dengan kata lain, aku telah melakoni suatu immoralitas.

Aku tahu, dan sangat sadar,  menulis puisi itu tak pernah mudah.  Tampaknya saja hasilnya sederhana.  Tapi proses kreatifnya sungguh kompleks.

"Aku ini binatang jalang | Dari kumpulannya terbuang".  Tulis penyair Chairil Anwar dalam puisi "Aku" (1943) yang membakar semangat. 

Ah, itu kalimat-kalimat sederhana saja. Katamu.  Ya, tapi hanya Chairil Anwar yang menulisnya menjadi larik sebuah puisi yang powerful.  Kamu hanya bisa ternganga takjub membacanya.

Atau simaklah bait ini:  "Tak ada yang lebih tabah | dari hujan bulan Juni | Dirahasiakannya rintik rindunya | Kepada pohon berbunga itu".  

Kalimat-kalimat sederhana juga, kan?   Tapi hanya Sapardi Djoko Damono yang menulisnya menjadi bait pertama puisi "Hujan Bulan Juni" (1989) yang legendaris.

Chairil dan Sapardi tidak tiba pada kata, frasa, dan kalimat puitis itu dalam sekedipan mata. Sekalipun mereka penyair hebat. Ada "air mata darah" di balik kata-kata itu. 

Belajar dari Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono, aku kemudian sadar, puisi tak semata soal pilihan dan anggitan kata indah -- seringkali berupa kata baru dan frasa njlimet yang membuatku mengerinyitkan dahi.

Hal yang terpenting adalah: makna.  Itulah pelajaran yang menjadi pedomanku.

Puisi "Pengakuan Seorang Pendosa Tua" (kompasiana.com, 29/06/2019) adalah buah upayaku jatuh-bangun menulis sebuah puisi yang menawarkan makna -- kata lain dari jiwa atau nilai.

Larik-lariknya begini:


"Sisyphus! Kau sangka sisa usiamu sebuah kemalangan? Tidak. Kau salah sangka. Sisa usiamu adalah kebajikan. Melakoni absurditas hidup manusia. Mendaki hingga setindak dari puncak gunung saat berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri terlentang di kaki gunung saat terbangun di pagi hari.

Tidakkah lakon sisa hidupmu suatu kebaikan, wahai engkau Sisyphus?

Sedangkan aku? Aku mengejar batas cakrawala pada sisa umur uzurku. Tapi tiap langkahku tak kunjung mendekatkan jarakku padanya. Sebab kutemukan diri hanya berlari di tempat. Mulai berlari setiap  berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri semakin dalam terperosok setiap terbangun di pagi hari.

Tidakkah sisa hidupku sebuah kemalangan, wahai engkau Sisyphus?

Tuhanku! Aku tahu Engkau tetap berdiri di sana, di batas cakrawala, sedari dulu, kini, dan sepanjang masa. Setia menungguku untuk menghambur ke pelukanMu. Tapi aku setiap kali telah menyimpang ke jalan lain untuk mengingkari-Mu.  Sebelum setiap kali pulang ke titik awal. Dengan air mata sesal berulang di sepasang pelupuk mata renta.

Aku setiap kali membela diri di hadapan-Mu, ya Tuhanku, bahwa aku hanya meneladan Petrus yang tiga kali menyangkal-Mu sebelum ayam berkokok menjelang pagi hari.

Dan Engkau, ya Tuhanku, kulihat dari jauh, atas setiap kali pembelaanku, hanya menyungging selarik senyum penuh asih di bibirMu."

Puisi itu diganjar label "Artikel Utama" di Kompasiana.

Dan aku percaya pada penilaian Admin Kompasiana.  Bahwa tulisan itu memang benar sebuah "puisi",  bukan pseudo-puisi atau "bangkai" -- tubuh (puisi) tanpa jiwa (puisi).

Proses kreatif puisi  -- jika sepakai itu sebuah puisi -- bukanlah sesuatu yang mudah bagiku. Itu dimulai dari sebuah perjalanan ziarah ke Patung Kristus Raja (Memberkati Kota Makale) di puncak bukit Buntu Burake, Makale Toraja pada bulan Desember 2018.

Setelah mengendapkan pengalaman ziarah itu  selama 6 bulan, barulah aku mendapatkan sebuah makna "pertobatan" di situ.  Tapi aku sadar bahwa diriku adalah manusia  biasa yang mudah jatuh kembali ke dalam dosa.  Tapi Tuhan Maha Rahim, tak pernah marah.

Itu sebabnya aku melihat kesejajaran diriku dengan Sisyphus, sosok  absurd dalam mitologi Yunani, dan Santo Petrus, murid Yesus yang jatuh tiga kali ke dalam dosa "penyangkalan" hanya dalam tenggang waktu  tiga kali  kokok  ayam jantan dini hari.

Jadi, andaikan aku tak membaca kisah Sisyphus dan Santo Petrus,  maka kupastikan puisi itu tak akan pernah teranggit dan teragihkan ke hadapan pembaca.

***

Dengan menulis seperti ini, apakah aku hendak mengklaim diri sebagai seorang penulis puisi?

Sama sekali tidak!

Aku hanya sekadar berbagi pengalaman menulis puisi.  Bahwa menulis puisi itu ternyata sulit.  Kecuali  yang ditulis bukan puisi, melainkan pseudo-puisi.

Dengan begitu, aku mau mengaku dosa, bahwa mayoritas tulisan yang  kulabeli "puisi" di Kompasiana sejatinya adalah "pseudo-puisi".  Bangkai-bangkai literasi. 

Untuk segala kejahatan dan immoralitas literasi itu, aku mohon maaf  kepada pembaca.

Hari ini aku tetaplah seorang pembelajar tua, yang tetap merawat harapan, bahwa suatu saat nanti aku  bisa menulis sebuah puisi yang sederhana tapi sarat makna. 

Kelak, suatu saat, sebelum  tiba waktuku dipanggil  Sang Pencipta. (eFTe)

Rujukan:

[1] Howard Nemerov, "Poetry: Definitions,  Types, Terms, Examples and Facts", bitannica.com

[2] Paul Feyerabend,  Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge, New Left Book, 1975

[3] Michael P. Garafalo, "Poetry: Defenitions, Theories, Reflections, Observations, Quips (Part I),  gardendigest.com.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun