Jujur, itu adalah suatu tulisan  serupa "tubuh (puisi) tanpa jiwa (puisi)", alias "bangkai".  Hanya karena aku Kompasianer "centang biru", puisi itu otomatis mendapat label "pilihan" di Kompasiana.
Anehnya, "bangkai" itu trending di Kompasiana. Meraup hampir 6.000 views. Gila!
Tak heran Ayah Tuah, penyair favoritku di Kompasiana, meradang. Sebab untuk meraih views sebesar itu, dia harus menulis 30 puisi di Kompasiana.
Menulis pseudo-puisi semacam itu mudah saja. Setidaknya bagiku.
Tapi, dalam proses kreatifku, menulis pseudo-puisi semacam itu kusadari sebagai tindak kekerasan perkosaan terhadap puisi. Sebuah kejahatan literasi. Â
Ironisnya, aku tahu itu salah dan buruk. Tapi kulakukan juga. Dengan kata lain, aku telah melakoni suatu immoralitas.
Aku tahu, dan sangat sadar, Â menulis puisi itu tak pernah mudah. Â Tampaknya saja hasilnya sederhana. Â Tapi proses kreatifnya sungguh kompleks.
"Aku ini binatang jalang | Dari kumpulannya terbuang". Â Tulis penyair Chairil Anwar dalam puisi "Aku" (1943) yang membakar semangat.Â
Ah, itu kalimat-kalimat sederhana saja. Katamu. Â Ya, tapi hanya Chairil Anwar yang menulisnya menjadi larik sebuah puisi yang powerful. Â Kamu hanya bisa ternganga takjub membacanya.
Atau simaklah bait ini:  "Tak ada yang lebih tabah | dari hujan bulan Juni | Dirahasiakannya rintik rindunya | Kepada pohon berbunga itu". Â
Kalimat-kalimat sederhana juga, kan? Â Tapi hanya Sapardi Djoko Damono yang menulisnya menjadi bait pertama puisi "Hujan Bulan Juni" (1989) yang legendaris.