Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Puisi Itu Sulit, Sebuah Refleksi Pribadi

8 Februari 2023   11:35 Diperbarui: 9 Februari 2023   05:47 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis puisi (Foto: Getty Images/iStockphoto/via wolipop.detik.com)

Jujur, itu adalah suatu tulisan  serupa "tubuh (puisi) tanpa jiwa (puisi)", alias "bangkai".  Hanya karena aku Kompasianer "centang biru", puisi itu otomatis mendapat label "pilihan" di Kompasiana.

Anehnya, "bangkai" itu trending di Kompasiana. Meraup hampir 6.000 views. Gila!

Tak heran Ayah Tuah, penyair favoritku di Kompasiana, meradang. Sebab untuk meraih views sebesar itu, dia harus menulis 30 puisi di Kompasiana.

Menulis pseudo-puisi semacam itu mudah saja. Setidaknya bagiku.

Tapi, dalam proses kreatifku, menulis pseudo-puisi semacam itu kusadari sebagai tindak kekerasan perkosaan terhadap puisi. Sebuah kejahatan literasi.  

Ironisnya, aku tahu itu salah dan buruk. Tapi kulakukan juga. Dengan kata lain, aku telah melakoni suatu immoralitas.

Aku tahu, dan sangat sadar,  menulis puisi itu tak pernah mudah.  Tampaknya saja hasilnya sederhana.  Tapi proses kreatifnya sungguh kompleks.

"Aku ini binatang jalang | Dari kumpulannya terbuang".  Tulis penyair Chairil Anwar dalam puisi "Aku" (1943) yang membakar semangat. 

Ah, itu kalimat-kalimat sederhana saja. Katamu.  Ya, tapi hanya Chairil Anwar yang menulisnya menjadi larik sebuah puisi yang powerful.  Kamu hanya bisa ternganga takjub membacanya.

Atau simaklah bait ini:  "Tak ada yang lebih tabah | dari hujan bulan Juni | Dirahasiakannya rintik rindunya | Kepada pohon berbunga itu".  

Kalimat-kalimat sederhana juga, kan?   Tapi hanya Sapardi Djoko Damono yang menulisnya menjadi bait pertama puisi "Hujan Bulan Juni" (1989) yang legendaris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun