Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Koper dan Sepatu

3 Februari 2023   05:22 Diperbarui: 3 Februari 2023   07:11 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koper dan sepatu (Foto: shutterstock via bisniswisata.co.id)

"Pandemi Covid-19 tak hanya merusak kesehatan tubuh, tapi juga koper dan sepatu kita." -Felix Tani

Aku mulai jenuh menulis hal-hal yang tak penting. Semacam isu guru penggerak, WFH, dan WFO. 

Tak penting?

Ya, begitulah. Sebab semua itu tak ada kaitan langsung dengan kehidupan seorang lansia pensiunan. Maksudku, aku sendiri.

Jadi kuputuskan menulis tentang satu hal yang benar-benar penting.  Tentang dampak Pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir (2020-2022) terhadap koper dan sepatu.

Sangat pentingkah?

Ya, sangat. Karena ini benar-benar soal koper dan sepatu milikku.

***

Sebenarnya tulisan ini dipicu pertanyaan dari seorang mahasiswa semester 6 fakultas ekonomi.  

Dia bertanya padaku tentang apa baiknya masalah riset untuk skripsinya. Dan itu menyedihkan. Sudah enam semester kuliah tapi belum tahu mau meriset apa.

Barangkali itu buah dari sistem perkuliahan yang opresif. Merampas kemerdekaan mahasiswa. Sekaligus membunuh daya pikirnya.

Untunglah Mas Menteri Nadiem datang dengan gagasan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Agar mahasiswa lepas dari penjajahan kampus.

Bah! Kenapa pula aku ngomongin lagi soal yang tak penting. Dasar semprul, aku.

Ringkasnya, aku bilang kepada mahasiswa itu, "Coba teliti dampak Pandemi Covid-19 terhadap koper dan sepatu."

"Huh! Dasar lansia kenthir," umpat mahasiswa itu. Lalu dia pergi begitu saja. Entah ke mana.

Begitulah mahasiswa.

***

Ya, betul, kenthir.

Kalau gak kenthir, gak bakalan terpikir kaitan pandemi Covid-19 dengan koper dan sepatu.

Atau, tepatnya, dampak pandemi Covid-19 terhadap koper dan sepatu.

Kalau saja mahasiswa tadi gak malas mikir, dia bisa bikin hipotesis begini:

Semakin lama masa pandemi Covid-19 semakin tinggi tingkat kerusakan koper dan sepatu.

Jangan ketawa. Ini hipotesis serius.  Berdasar pengalaman empiris.

Ceritanya begini.

Setelah Presiden Jokowi mengumumkan berakhirnya pandemi Covid-19 pada akgir Desember 2022 yang lalu, aku pikir sudah saatnya meningkatkan mobilitas fisik antar ruang. 

Baik itu dari ruang domestik ke ruang publik. Maupun dari satu ke lain ruang publik. 

Dengan kata lain bepergian.

Dua perlengkapan wajib bepergian adalah koper dan sepatu, bukan?

Nah, aku ambillah sepatu kets andalanku dari kotaknnya. Sudah dua tahun dia mendekam di situ. Nganggur. 

Soalnya, selama pandemi gak kemana-mana. Di rumah saja, turut nasihat Pak Jokowi. Kan gak mungkin mondar-mandir pakai sepatu kets di dalam rumah. Kecuali pandir.

Aku pakai lagilah sepatu itu. Niatku mau jogging ke taman kota. 

Tapi apa yang terjadi? Baru jalan sekira 10 meter, sol sepatu itu pada copot.

Itulah penyakit sepatu. Kelamaan tak dipakai, daya rekat lem solnya melemah. Copot dah itu sol.

Lain hari.

Ada rencana bepergian ke kota lain. Perlu koper, dong.

Kuturunkanlah koper andalan dari para-para. Itu koper mahal tapi murah. Beli pakai korting 70 persen.

Aku angkatlah itu koper pada handelnya. Eh, itu handel langsung remuk berkeping-keping. Rusak, deh.

Begitulah. Bahan plastik solid, seperti handel koper itu, akan merosot kelenturannya jika lama tak dipakai. 

Ya, siapa pula yang mau mondar-mandir jinjing koper di rumah selama pandemi? Kita kan belum pandir.

Sebenarnya ada solusi sederhana untuk mencegah kerusakan koper dan sepatu macam itu.

Penjemuran secara berkala.

Cilakanya, aku terbilang pemalas untuk urusan jemur-menjemur macam itu.

Lha, berjemur diri aja malas. Komo jemur koper dan sepatu.  

Kalau harus milih, ketimbang menjemur, aku pilihlah mondar-mandir dalam rumah pakai sepatu kets sambil jinjing koper.

Walau itu berarti aku pandir.

***

Aku tak mengada-ada, kan?

Coba mahasiswa tadi gak langsung julid padaku. Mau berpikir lebih jauh.

Kan, dengan hipotesis di atas dia bisa mengungkap empat hal ini:

  • Jumlah sepatu dan koper yang rusak karena tak dipakai selama pandemi Covid-19 per rumahtangga kota Jakarta.
  • Jumlah nilai kerugian dan atau biaya reparasi yang timbul akibat kerusakan koper dan sepatu per rumahtangga kota Jakarta.
  • Jumlah nilai pembelian sepatu dan koper baru per rumahtangga pasca-pandemi Covid-19.
  • Implikasi kerusakan sepatu dan koper itu terhadap omzet bengkel reparasi dan industri koper dan sepatu domestik.

Tapi sudahlah. Mahasiswa tadi sudah terlanjur malas mikir.

Sayangnya, aku tak sempat mengingatkannya. Otak kalau lama tak dipakai buat mikir, nasibnya ya macam koper dan sepatuku itulah. Rusak!

Makanya jangan malas mikir.

Tapi, ya, gak maido juga, sih. Rerata IQ orang Indonesia itu konon cuma 78.49 (?). IQ segitu mungkin memang gak cukup buat mikir logis.  Cuma cukup untuk minta maaf jika bikin konten sesat pikir.

Kendati begitu, janganlah putus asa.

Ada cara sederhana untuk adah pikir. Sekurangnya tulislah satu paragraf per hari. Itu tandanya masih bisa mikir. 

Tentu, dengan catatan kamu bukan pemuisi, ya. Pemuisi itu gak perlu berpikir. Dia cuma perlu licentia poetica.

Hahaha. Aku bercanda, Uda dan Uni. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun