Cak Nun tak mengakui adanya kesalahan pada substansi ujarannya.Â
Buktinya, dia tak mengoreksi ujarannya. Bagi Cak Nun, dengan demikian, bukan sebuah kesalahan substantif mengatakan Jokowi seperti Firaun, Anthony Salim seperti Qorun, dan Luhut Panjaitan seperti Haman.
Implikasinya, bagi Cak Nun, dirinya sedang mengungkapkan sebuah kebenaran.
Itulah yang memicu kemarahan dan hujatan berkelanjutan kepada Cak Nun. Khususnya dari kaum Jokowi Lovers.
Kaum pecinta Jokowi tidak terima Jokowi disamakan dengan Firaun yang lalim. Firaun yang didukung Qorun, kroninya yang kaya-raya dan Haman, penasihat utamanya.Â
Ketiganya adalah kekuatan oligarkis Mesir Kuno. Oligarki lalim yang membenci, memusuhi, dan merepresi Nabi Musa dan kaumnya.
Dalam tafsir para pecinta Jokowi, Cak Nun sedang mengatakan bahwa Jokowi, seperti halnya Firaun zaman Nabi Musa, adalah pucuk "oligarki" lalim.Â
Lalim terhadap siapa? Tentu terhadap satu kelompok yang diibaratkan seperti "Musa dan kaumnya". Â
Patut diduga, "Musa"-nya adalah sebuah kolektivitas "tokoh oposisi" dan kaumnya adalah massa opisan yang, oleh berbagai sebab, kecewa pada pemerintahan Jokowi.Â
Mungkin kecewa karena belum move on dari kekalahan pada Pilpres 2017, marah karena organisasinya dibubarkan, sakit hati karena merasa dikriminalisasi, atau merasa kebebasannya berbicara diberangus.
Dengan tafsir semacam itu, bagi para pecinta Jokowi, ujaran Cak Nun bukanlah sebuah kebenaran. Itu adalah fitnah, sekurangnya penghinaan.