Berhentilah melabel pekuburan sebagai tempat angker, penuh dengan hantu yang menakutkan.Â
Katakanlah ada hantu-hantu atau arwah-arwah para mendiang di situ. Tapi semasa hidupnya mereka mungkin adalah kerabat atau kenalan kita. Lalu kenapa setelah mati jadi momok?
Barangkali banyak orang termakan oleh kisah-kisah perjumpaan dengan hantu yang menyeramkan. Entah itu kisah-kisah di medsos atau siniar di kanal YouTube.
Tapi cobalah sedikit kritis. Tidakkah kita perlu curiga bahwa kisah-kisah itu cuma hasil reproduksi lintas ruang dan waktu?
Kisah-kisah itu pada dasarnya seragam. Bercerita tentang pertemuan dengan hantu-hantu yang sama: pocong, kuntilanak, genderuwo, gadis cantik, sampai bocah gundul.  Mungkin  di gunung, lembah, telaga, kuburan, atau gedung/rumah tua.
Setidaknya kita perlu bertanya-tanya. Semisal ada kisah-kisah pertemuan dengan genderuwo di gunung-gunung Lawu, Kerinci, Rinjani, Â Soputan, dan Puncak Jaya. Sejak kapan sih genderuwo ikut transmigrasi ke luar Jawa?
Bukan bermaksud menyangkal keberadaan hantu-hantu. Bukan. Kata orang Batak "martondi na mangolu marbegu na mate" -- orang hidup punya jiwa orang mati punya hantu.Â
Hanya karena tak terlihat, tak berarti sesuatu itu takada.Â
Begitu pula hantu-hantu pekuburan. Diasumsikan mereka ada, walau tak terlihat.
Tapi jangan pula hantu-hantu  itu dipersepsikan sesuatu yang menakutkan. Atau, lebih mengerikan, bisa mencabut nyawa.