Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Sosiologi Kuburan] Orang Mati dan Orang Hidup Berbagi Relung Damai dan Indah

18 Januari 2023   08:42 Diperbarui: 18 Januari 2023   15:37 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhentilah melabel pekuburan sebagai tempat angker, penuh dengan hantu yang menakutkan. 

Katakanlah ada hantu-hantu atau arwah-arwah para mendiang di situ. Tapi semasa hidupnya mereka mungkin adalah kerabat atau kenalan kita. Lalu kenapa setelah mati jadi momok?

Barangkali banyak orang termakan oleh kisah-kisah perjumpaan dengan hantu yang menyeramkan. Entah itu kisah-kisah di medsos atau siniar di kanal YouTube.

Tapi cobalah sedikit kritis. Tidakkah kita perlu curiga bahwa kisah-kisah itu cuma hasil reproduksi lintas ruang dan waktu?

Kisah-kisah itu pada dasarnya seragam. Bercerita tentang pertemuan dengan hantu-hantu yang sama: pocong, kuntilanak, genderuwo, gadis cantik, sampai bocah gundul.  Mungkin  di gunung, lembah, telaga, kuburan, atau gedung/rumah tua.

Setidaknya kita perlu bertanya-tanya. Semisal ada kisah-kisah pertemuan dengan genderuwo di gunung-gunung Lawu, Kerinci, Rinjani,  Soputan, dan Puncak Jaya. Sejak kapan sih genderuwo ikut transmigrasi ke luar Jawa?

Bukan bermaksud menyangkal keberadaan hantu-hantu. Bukan. Kata orang Batak "martondi na mangolu marbegu na mate" -- orang hidup punya jiwa orang mati punya hantu. 

Hanya karena tak terlihat, tak berarti sesuatu itu takada. 

Begitu pula hantu-hantu pekuburan. Diasumsikan mereka ada, walau tak terlihat.

Tapi jangan pula hantu-hantu  itu dipersepsikan sesuatu yang menakutkan. Atau, lebih mengerikan, bisa mencabut nyawa.

Bukankah kita menganggap kuburan sebagai tempat para mendiang "disempurnakan"? Kalau begitu, hantu-hantu mereka mestinya dipersepsikan cinta damai, bukan?

Dengan persepsi semacam itu kita, orang hidup, dapat mengalami pekuburan sebagai relung damai dan indah. Bersih dari pikiran, perkataan, dan perbuatan negatif terhadap sesama, hidup atau mati, dan alam sekitar.

Kuburan dengan demikian menjadi suatu lokus harmoni dengan arwah dan alam. Dalam arti saling menghargai dan saling berbagi dalam menikmati relung damai dan indah pada kuburan.

Orang hidup berbagi relung damai dan indah dengan hantu atau arwah orang mati?

Mungkin terdengar absurd, ya.

Untuk membuat terang soal itu, saya ingin membagikan dua pengalaman kunjungan atau ziarah ke kuburan.

***

Akhir Desember 2017 di Tanah Toraja.

Saya berkunjung ke pekuburan orang Toraja di dua desa, Ketekesu dan Londa. Takjub menyaksikan makam-makam orang mati berada di tebing-tebing karst yang curam.

Itu jauh dari kesan menakutkan. Kendati tulang-belulang terserak di ceruk tebing. Dan patung tau-tau tegak melotot.

Patung-patung tau-tau makam Toraja di Londa, Toraja (Dokpri) 
Patung-patung tau-tau makam Toraja di Londa, Toraja (Dokpri) 

Saat menyaksikan itu semua, justru kesan damai dan indah yang terasakan.  

Saya berpikir, arwah-arwah orang Toraja itu telah "disempurnakan" di suatu lokus yang hening, di antara bumi manusia dan surga Sang Pencipta.

Tidak seperti pekuburan lazimnya, jasad orang mati di Toraja tak dikubur dalam tanah. Tapi ditempatkan di atas tanah pada tebing-tebing tinggi.

Makam orang mati ditinggikan di atas orang hidup, sebagai simbol bahwa orang mati berada di antara bumi dan langit. 

Orang-orang mati ditinggikan di tebing pekuburan Ketekesu, Toraja (Dokpri)
Orang-orang mati ditinggikan di tebing pekuburan Ketekesu, Toraja (Dokpri)

Peninggian makam atau jasad seperti itu ada kaitannya dengan kosmologi atau religi orang Toraja.

Dalam religi asli orang Toraja, Aluk To Dolo, manusia di bumi diturunkan oleh Puang Matua, Sang Pencipta dari langit, dunia para dewata. Sampai waktu yang lama, dunia langit dan dunia tanah dihubungkan oleh sebuah eran di langi, tangga langit. Dewata dan manusia terhubung erat lewat tangga itu.

Bila manusia Toraja mati, maka arwahnya akan kembali ke langit, ke tempat asalnya, lewat tangga itu. 

Tapi kemudian seorang manusia melakukan dosa pertama -- yaitu mengawinkan sepasang putra-putri  kembarnya. Puang Matua murka lalu menghancurkan tangga langit itu.

Sejak itu relasi intim manusia Toraja dan Puang Matua terputus. Arwah orang Toraja, bila mati, tidak bisa lagi langsung naik lewat tangga ke langit. 

Para arwah itu harus berkumpul dulu di puya, suatu tempat di antara bumi manusia dan langit Dewata. Di situ mereka menanti kesempatan pulang ke langit, lewat bantuan To Manurun, manusia langit utusan Puang Matua.  

Penempatan makam Toraja pada dinding tebing tinggi adalah simbolisasi puya. Suatu lokus yang diyakini sebagai titik kaki tangga langit pernah berdiri. Dulu, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

Dengan pemahaman kosmologis semacam itu, kunjungan ke pekuburan Toraja tak semata menjadi pengalaman berbagi damai dan indah dengan orang mati secara fisikal dan psikologikal. Tapi juga berbagai damai dan indah dalam balutan religiositas.

***

Pertengahan Januari 2023 di TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan.

Itu adalah ziarah makam yang kesekian puluh kali. Membuat Kampung Kandang seakan "pekarangan kedua", setelah pekarangan rumah sendiri.

Tak ada kesan menakutkan, bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di situ. Walau jasad para mendiang dikubur dalam tanah, tapi kesan yang meraja tetaplah kuburan sebagai tempat manusia fana "disempurnakan".

Tidakkah setiap manusia mengidamkan "penyempurnaan" di kuburan, pada akhirnya? Apapun definisi kuburan itu.

Maka saya mengalami ziarah ke Kampung Kandang sebagai momen berbagi relung damai dan indah dengan para arwah -- atau hantu atau apalah -- yang ada tapi tak terlihat di sana.

Saya tak melihat kuburan sebagai "tanah orang-orang mati" semata. Tidak sedangkal itulah.  

Kuburan adalah sebuah ekosistem. Tempat jiwa orang hidup berjumpa dengan "hantu" orang mati di sebuah lokus damai dan indah.

Dengan demikian kunjungan ke kuburan adalah pengalaman ekologis yang unik. Sebab ada interaksi spritual di situ. Perjumpaan dan komunikasi antara jiwa orang hidup dan roh (hantu) orang mati, dalam sebuah bingkai religi -- apapun agama kita.

Relung damai dan indah itu disimbolkan oleh sudut-sudut tertentu di kuburan yang, jika dipandang dalam perspektif "kuburan sebagai lokus penyempurnaan", terlihat sebagai saujana damai dan indah.

Sebagai contoh saja.

Saya menemukan satu lorong asri, berupa jalan setapak berpagar tegakan pohon-pohon glodokan besar. Di antara tegakan pohon itu ada bangku-bangku besi.

Lorong peristirahatan orang hidup dan mati di Kampung Kandang, Jakarta Selatan (Dokpri) 
Lorong peristirahatan orang hidup dan mati di Kampung Kandang, Jakarta Selatan (Dokpri) 

Saya membayangkan, di lorong itu manusia hidup dan hantu orang mati dapat berbagi bangku, duduk bersama, menikmati suasana damai, tenang, dan indah. Dibelai semilir angin yang mengundang kantuk.

Satu contoh lagi.

Sebuah pemandangan hutan kecil, setidaknya jika dilihat dari jauh. 

Hutan kecil di TPU Kampung Kandang Jakarta Selatan (Dokpri)
Hutan kecil di TPU Kampung Kandang Jakarta Selatan (Dokpri)

Rerimbunan pohon-pohon glodogan dan tanjung itu memancarkan rasa damai, disamping juga keindahan. Sesuatu yang tak selalu bisa didapatkan di tanah Jakarta yang telah menjadi hutan beton dan aspal.

Bahkan pertetanggaan antara orang hidup dan mati pun bisa menciptakan kedamaian dan keindahan kolaboratif. Seperti terlihat pada foto kepala artikel ini. 

Dari sudut pandang tertentu, kuburan -- rumah masa depan -- dengan latar rumah warga setempat menciptakan saujana damai dan indah.

Tidakkah itu elok? Ketika orang hidup dan mati tak hanya berbagi relung damai dan indah? Tapi juga berkolaborasi membangun relung itu.

***

Apa yang hendak disampaikan di sini?

Sederhana saja. Saya ingin  menawarkan cara pandang -- yang mungkin -- beda tentang kuburan.

Kuburan adalah ekosistem berbagi -- dan mungkin juga mencipta -- relung damai dan indah antara (arwah) orang mati dan (jiwa) orang hidup. 

Karena itu singkirkan pandangan kuburan sebagai lokus angker, ajang gentayang hantu-hantu menakutkan.

Kita mengirim jasad mendiang kerabat kita ke kuburan. Dan kelak kita juga menyusul ke sana. Karena kita menganggap kuburan adalah resor "penyempurnaan" manusia.

Tidakkah sebuah paradoks? Di satu sisi kita melihat kuburan sebagai lokus "penyempurnaan" manusia. Tapi di sisi lain kita melihatnya sebagai tempat yang menakutkan.

Cobalah dipikir. (eFTe)

 

 

 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun