Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ketika Ayah Tuah Membela(i) Dua Perempuan

9 Januari 2023   05:06 Diperbarui: 10 Januari 2023   06:04 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lubang dan punggung hanyalah medium. Esensinya adalah komunikasi. Intensinya kesepahaman. Lalu keakraban." -Felix Tani 

"Ayah Tuah! Terimalah pembalasanku! Ciaaat!"

Dhesss!

Eh, kena gak, sih?

Embuh. Sabodo teuing.

***

Ah, lupakan dialog ala komik silat itu.

Ada yang lebih seru. Berita dari Agam, Sumatera Barat.

"Damkar Turun Tangan Evakuasi Sapi Masuk Sumur di Agam" (sumbarkita.id, 05.01.2023).

Terjadi 4 Januari 2023, diberitakan esoknya.

Sebuah pertanyaan. Mengapa tidak diberitakan masuk lubang sumur?

Coba periksa deh berita-berita serupa di internet. 

Semua begitu. Frasa yang digunakan "masuk sumur" atau "terjun ke sumur". Bukan "masuk lubang sumur" atau "terjun ke lubang sumur".

Kenapa?

Karena para pewarta paham banget sumur adalah lubang. Lubang vertikal ke tanah. Bukan horizontal. Itu namanya terowongan.

Semua sumur adalah lubang.

Tapi tak semua lubang adalah sumur. Ada jenis lubang yang sudah lubang dari sononya. Setelah ditusuk benda lonjong tumpul, tambah lebar. 

Itu terjadi pada lubang hidung tukang ngupil. Mikir ape lo, Acek!

Mau bilang para pewarta tak paham majas pleonasme? Beuh! Mereka "buaya" pleonasme sejak dari judul berita.

Gak percaya? Periksa saja judul-judul berita skandal esek-esek di media massa daring.

Tapi lupakan sejenak soal lubang.

Kita beri jeda pada Ayah Tuah, ahli Lubangologi itu, untuk berpikir santai.

***

Mari bicara punggung. Maksudku metafora punggung.

Ada judul artikel yang imajinatif begini.

"Jalur Punggung Naga Gunung Piramid, Hanya untuk Para Pendaki yang Bernyali" (superlive.id, 01.11.2022).

Ah, punggung naga. Kenapa bukan bilah lereng?

Bilah lereng, tonjolan tanah memanjang pada lereng gunung, kiri-kanannya jurang dalam. Kadang disebut jembatan shirat al-mustaqim.

Ah, itu metafora. Pasti begitu kata Ayah Tuah.

Ya, metafora. Bilah lereng itu diibaratkan -- tepatnya dibayangkan -- sebagai tubuh seekor naga. Lalu bagian atasnya diibaratkan sebagai "punggung" (naga).

Imajinatif, bukan? 

Tapi, lebih penting lagi, metafora "punggung naga" itu logis. Masuk akal.  

Dari kejauhan, bilah lereng itu tampak sebagai citra naga. Orang yang pernah melihat gambar naga dalam buku cerita, atau karakter naga dalam film, pasti punya imajinasi serupa.

Kecuali dia, atau kamu, miskin imajinasi. 

Mesakno, bila demikian.

Artikel pembelaan Ayah Tuah untuk dua perempuan (Tangkapan layar Kompasiana.com)
Artikel pembelaan Ayah Tuah untuk dua perempuan (Tangkapan layar Kompasiana.com)

***

Seorang lelaki membela seorang perempuan berarti setia.

Tapi seorang lelaki membela dua orang perempuan sekaligus berarti serakah.

Tak punya empati sama sekali pada para jomlowan. 

Begitulah Ayah Tuah. Membela dua perempuan, Lilik Fatimah Azzahra dan Ayu Diahastuti, sekaligus. Dua pemuisi kesayangan Ayah. Ea ea ea .... Eufemismenya, idola. Halah!

Dalih Ayah Tuah, Lilik & Ayu mengadu sambil tersedu memadu dagu pada dua sisi bahunya. Tersakiti oleh Engkong Felix, katanya. Engkong dituduh menertawakan puisi mereka.

Ya, ampun. Jadi perempuan kok pengaduan amat, ya. Baru juga disentil sikit.

Padahal Engkong tidak menertawakan puisi mereka, lho. 

Cuma terbahak lantaran geli saat baca frasa yang menabrak logika. Sekalipun itu atas nama majas yang berlindung di balik punggung licentia poetica.

Frasa yang kumaksud adalah "lubang sumur" pada larik puisi Lilik Fatimah ini:

"Kucari ia di setiap sudut rumah. Di dapur, di lubang sumur, di kolong tempat tidur." ("Lelaki yang Berbahaya").

Lalu frasa "punggung kabel listrik" pada larik puisi Ayu Diahastuti ini:

"Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik." ("Puisi Kita Sore Lalu").

Ini puisi, kata Ayah Tuah. Aduh, siapa juga bilang essai, Ayah.

Licentia poetica, katanya lagi. Ya, tentu saja. Bukan license to kill ala James Bond.

Iya, deh, Ayah. Tapi masa ketawa geli aja dianggap nyakitin, sih?

***

Kata Ayah Tuah, frasa lubang sumur itu majas pleonasme. Melebih-lebihkan atau, istilah gaulnya, lebay.

Semacam frasa naik ke atas, turun ke bawah, maju ke depan, dan mundur ke belakang.

Ah, contoh terakhir kendati lebay, ada logikanya. Mundur ya ke belakang. Benarlah itu. Masa ke depan?

Lha, lubang sumur? Sumur itu kan lubang. Berarti "lubang sumur" itu "lubang (dari) lubang" atau "sumur (dari) sumur". 

Lha, dimana logikanya. Pleonasme ya pleonasme. Licentia poetica ya licentia poetica. Tapi kudu masuk akal juga, kan.

Lubang berlubang. Pleonasme macam mana itu.

Lalu, frasa punggung kabel listrik?

Majas personifikasi. Itu kata Ayah Tuah. Sambil memberi contoh: "angin berbisik" dan "nyiur melambai."

Dua contoh terakhir ini logis. Desau angin itu semacam bisikan pacarmu. (Daun) nyiur melambai itu semacam pacarmu melambaikan tangan di darmaga.

Tapi punggung kabel listrik?

Proses imajinasinya gimana, ya? Bisa-bisanya bentang kabel dipersonifikasi jadi pacarmu. Dan kamu "bertengger" di punggungnya.

Lagian, kalau ada punggung kabel, tentu ada perutnya, kan? Gimana cara membedakannya, coba. 

Pakai metode hewani? Burung gereja bertengger di punggung kabel, kampret bergelantung di perutnya?

Lebih mungkin adalah depersonifikasi. Semisal hati Ayah Tuah serasa tersengat saat melihat Ayu tersenyum ke arahnya -- bukan kepadanya, lho. Lalu dia menulis selarik puisi: "Kukira kau kabel listrik telanjang."

Maksudnya, kesetrum, gaes!

Atau antropomorfisme? Menggunakan bentuk terkait manusia untuk non-manusia. Punggung manusia menjadi punggung kabel.

Ya, bisa aja sih. Tapi rasanya kok maksa, ya. Takada serambut-dibelah-tujuhpun kesebangunannya. 

Licentia poetica? Iya, tahu. Tapi jangan menafikan logika juga, kale. 

Keindahan janganlah mengkhianati akal sehat.

***

Kata Ayah Tuah, Engkong Felix itu traumatik pada kata "lubang" dan "punggung". 

Pernah, katanya Engkong diminta Berta gali lubang. Baru tiga cangkulan, eh, langsung letoy. Sejak itu Berta cuma beri "punggung" untuk Engkong.

Makanya, masih kata Ayah, Engkong langsung insecure jika ada orang yang mengujarkan lubang dan punggung. Lilik dan Ayu apes jadi korbannya.

Dalam kasanah psikologi, itu disebut proyeksi pengalaman pribadi pada orang lain. 

Begini. 

Mungkin, ya, mungkin Ayah Tuah sendirilah yang traumatik pada lubang dan punggung. Tapi dia berupaya mengingkarinya. Caranya, ya itu, memproyeksikan traumanya pada Engkong Felix.

Jadi Engkong Felix hanya jadi korban di sini. Apes bener die.

Ayu paham benar perkara macam itu. Tapi dia pura-pura tidak tahu. Malah ikut ngompori Ayah. Sebab Ayah kan membalaskan sakit hatinya kepada Engkong. 

Ih, segitunya.

Dalam ilmu logika, dalih Ayah Tuah itu masuk kategori argumen memedi sawah (stawman argument). 

Lari dari fokus logika majas dan licentia poetica.  Berlabuh ke gosip lubang dan punggung.  

Terdengar asyik, sih. Tapi gak nyambung, kan?

Jaka Sembung pakai subang, Ayah Tuah naik punggung berlubang. Aih, Sundel Bolong, dong.

Ada lagi. Red herring argument. Ayah Tuah menyinggung gairah Engkong menulis artikel tentang pisang. Sudah 6 artikel. Bahaya kalau sampai 69, katanya.

Ah, itu sih memancing Engkong. Agar menyambar umpan, lalu terperangkap dalam jebakan Ayah Tuah. 

Nanti Ayah bisa bilang, "Lihat, Engkong trauma pada pisang." Viral! Lalu orang akan lupa soal lubang dan punggung dua perempuan.  

Motifnya sesimpel itulah. Demi meredakan sengguk dua perempuan idola. Ea ea ea ...!

Tapi Ayah Tuah lupa. Ada Pak Tjip(tadinata) yang sudah menulis 4 nomor artikel pisang. Tak terpikirkah Ayah kalau sampai Pak Tjip yang tiba di pal 69? 

Aih. Tuhan, ampunilah pikiran  senget kami. 

Kami sudah tua. Saatnya tobat. Serius.

Artikel keempat tentang pisang oleh Pak Tjip (Tangkapan layar Kompasiana.com)
Artikel keempat tentang pisang oleh Pak Tjip (Tangkapan layar Kompasiana.com)

***

Belum selesai.

Tanya. Ada yang tahu, gak. Kenapa judul artikel ini bukan "Ketika Ayah Tuah Membelai Dua Perempuan"? 

"Rasakan pembalasanku! Ciaaat!"

Set. (Kesiur angin.)

Byur.

Waduh. Siapa yang kecebur masuk sumur?(eFTe)

*Artikel ini dianggit Felix Tani sebagai tanda hormatnya pada Ayah Tuah.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun