Perayaan Tahun Baru Masehi, 1 Januari, bukan tradisi asli orang Batak Toba. Dia adalah tradisi Eropah Barat yang masuk ke dalam budaya Batak Toba sejak paruh kedua 1860-an.
Tradisi itu datang mengikuti  tradisi perayaan Natal Kristiani di Tanah Batak. Natal mulai dirayakan komunitas Protestan pertama di Silindung, Tanah Batak pada pertengahan 1860-an, buah karya penginjilan Zending Kristen Protestan di sana sejak 1864.
Semenjak itu, seiring perkembangan pesat Gereja Kristen Protestan, juga Gereja Katolik Roma sejak 1934, Natal dan Tahun Baru menjadi rangkaian perayaan tak terpisahkan bagi orang Batak Toba.
Ucapan "Salamat Ari Natal dohot Taon Baru" lantas menjadi satu tarikan nafas bagi orang Batak. Tidak ada Natal yang tak bersambung pada Tahun Baru. Atau, tak ada Tahun Baru yang tak berangkat dari Natal.
Persambungan Natal dan Tahun Baru itu bagi orang Batak mengandung makna mendalam, yaitu rekonsiliasi teologis dan sosiologis sebagai dasar untuk menapaki hidup lewat "jalan lain" yang baru.
***Â
Jika merujuk pada parhalaan atau penanggalan Batak, maka awal Tahun Baru jatuh pada bulan Sipaha Sada. Bulan ini sejajar dengan bulan Maret dalam Kalender Masehi.
Tanggal 1 bulan Sipahasada itu disebut Artia. Itulah hari Tahun Baru atau hari pertama dalam penanggalan Batak. Artia Sipahasada itu jatuh pada satu tanggal di bulan Maret. Berubah-ubah setiap tahun, tergantung perhitungan berdasar pergerakan bulan di langit.Tahun 2022 yang lalu misalnya ditetapkan 3 Maret. Â
Penetapan Tahun Baru Batak itu diduga terkait dengan kalender pertanian padi dalam masyarakat Batak. Â Orang Batak dulu membudidayakan padi lokal berumur dalam (panjang), 151 hari ke atas. Tanam padi berlangsung pada bulan Sipahasampulu, Desember, bertepatan musim hujan.
Pada bulan Sipahasada, Maret, tanaman padi memasuki fase generatif, berbunga. Itulah satu fase yang melambangkan harapan akan gabe na niula, hasil panen yang melimpah. Secara sosio-ekologis, itu bermakna "harapan baru" akan "kehidupan dan penghidupan baru" yang lebih baik.
Dalam tradisi ritus Ugamo Malim, religi asli Batak Toba, Artia Sipahasada atau Tahun Baru Batak dirayakan sebagai peringatan hari kelahiran Tuhan Simarimbulubosi. Dia dipercaya sebagai penebus dosa yang membebaskan manusia dari kuasa jahat. Sehingga manusia boleh menjalani "hidup baru" yang bersih dan kelak memperoleh hidup kekal di Banua Ginjang, surga-Nya.
Pemaknaan Tahun Baru Batak itu -- yang dalam Ugamo Malim berimpit dengan perayaan kelahiran Sang Penebus -- memiliki kesejajaran dengan makna "Natal dan Tahun Baru" yang hidup dalam masyarakat Batak Kristiani masa kini.
Natal bagi umat Kristiani Batak adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Sedangkan Tahun Baru dirayakan sebagai "fajar harapan baru". Â Bukan disimbolkan padi berbunga (Maret), tapi padi mulai tumbuh menghijau di hamparan sawah. Desember adalah masa tanam padi.
Di hari Natal umat Kristiani Batak menyampaikan syukur atas kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus, Juru Selamat manusia dari dosa. Esensi Natal itu adalah penemuan "jalan lain" atau "jalan baru yang lebih baik" sebagai buah perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus.
Komitmen untuk menempuh "jalan baru", jalur lain yang beda dengan "jalan lama" (tahun lama), dinyatakan pada malam Tahun Baru. Tepatnya pada momen peralihan taon naburuk, tahun lama  ke taon naimbaru, tahun baru. Ditandai oleh dentang lonceng gereja, sebagai maklumat pergantian tahun.
Komitmen itu dinyatakan orang Batak dengan dua bentuk rekonsiliasi di malam tahun baru.Â
Pertama, rekonsiliasi teologis, mengakui dan menyesali segala dosa atau kesalahan setahun lalu di hadapan Tuhan. Lalu berjanji untuk mengubah cara hidup di tahun mendatang.  Meninggalkan dalan naburuk,  "jalan lama" untuk kemudian  menempuh dalan naimbaru, "jalan baru".
Kedua, rekonsialisasi sosiologis, mengakui dan menyesali segala kesalahan dan kelemahan diri setahun lalu di hadapan keluarga. Lalu berjanji memperbaiki perilaku di tahun yang baru, dalam interaksi dan komunikasi dengan anggota keluarga. Meninggalkan keburukan dengan berlalunya tahun lama, menapaki kebaikan di tahun yang baru.
Rekonsiliasi sosiologis semacam itu dikenal sebagai tradisi mandok hata, menyampaikan perkataan, di malam Tahun Baru. Prakteknya, tepat pukul 00.00 seluruh anggota keluarga besar duduk melingkar di ruang tengah rumah. Kepala keluarga lalu memimpin doa syukur, dilanjutkan dengan acara mandok hata. Nanti ditutup dengan nasihat kepala keluarga, lalu doa rekonsiliasi dan pengharapan akan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.
Tradisi mandok hata itu semacam praktek demokrasi dalam keluarga Batak. Setiap anggota keluarga, lazimnya dimulai dari yang tertua, menyampaikan evaluasi diri. Mengakui kesalahan dan kelalaian, dalam perbuatan dan perkataan, Â dalam interaksi setahun dengan anggota keluarga lainnya. Termasuk di sini menumpahkan segala unek-unek. Pengakuan itu ditutup dengan permintaan maaf dan janji untuk memperbaiki diri pada tahun yang baru.
Begitulah orang Batak melakukan rekonsiliasi teologis dan sosiologis setiap tahun. Suatu proses yang secara manifes tampak sebagai rangkaian perataan Natal dan Tahun Baru.Â
Rekonsiliasi sebagai pernyataan komitmen untuk menempuh "jalan baru" yang lebih baik, dan meninggalkan "jalan lama" yang tidak atau kurang baik, itulah makna utama Tahun Baru bagi orang Batak Toba. Makna yang yang telah diwartakan Natal sebagai "jalan lain" menuju keselamatan.
***
Jika pada hari-hari masa Natal dan Tahun Baru orang-orang Batak rantau mengalir pulang kampung, maka intensinya tak lain untuk rekonsiliasi teologis dan sosiologis dalam keluarga besar -- mencakup keluarga prokreasi dan orientasi.
Memang ada sementara orang yang secara sinikal melihatnya sebagai perilaku pamer kesuksesan di rantau. Â Lazimnya itu pandangan "orang kalah" yang malas evaluasi diri. Bagaimanapun hamoraon-hagabeon-hasangapon, Â kekayaan-jeberhasilan-kemuliaan, adalah tiga nilai yang dikejar orang Batak. Jelas kesuksesan bukan sesuatu yang ditabukan.
Intinya, orang Batak pulang kampung atau ke rumah orangtua (kelyarga orientasi) di masa Natal dan Tahun Baru untuk menjalankan ritus kolektif rekonsiliasi. Jika ada indikasi kesuksesan yang tampak dalam proses itu, seperti mobil dan dandanan mewah, maka itu semacam kulit yang jamak saja.
Rekonsiliasi itulah makna terpenting yang hendak diwujudkan. Rekonsiliasi dengan Tuhan dan seluruh anggota keluarga besar. Bagi orang Batak Toba, rekonsiliasi di malam Tahun Baru itu adalah komitmen "jalan baru" untuk kehidupan yang kebih baik. Sekaligus rekonsiliasi itu adalah sumber energi sosial kreatif untuk dapat menapaki komitmen "jalan baru" tersebut.
Menutup tahun 2022 dan membuka tahun 2023, izinkan saya menyampaikan ucapan khas Batak Toba ini:
Habang ma pidong siburuk
Habang hu bonani antajau
Nunga salpu be taon na buruk
Nunga ro taon naimbaru.
[Terbang burung bubut
Terbang ke pohon jambu
Sudah berlalu tahun yang lama
Sudah datang tahun yang baru]
Salamat Ari Natal dohot Taon Baru ma di hita saluhutna. Horas! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H