Dalam tradisi ritus Ugamo Malim, religi asli Batak Toba, Artia Sipahasada atau Tahun Baru Batak dirayakan sebagai peringatan hari kelahiran Tuhan Simarimbulubosi. Dia dipercaya sebagai penebus dosa yang membebaskan manusia dari kuasa jahat. Sehingga manusia boleh menjalani "hidup baru" yang bersih dan kelak memperoleh hidup kekal di Banua Ginjang, surga-Nya.
Pemaknaan Tahun Baru Batak itu -- yang dalam Ugamo Malim berimpit dengan perayaan kelahiran Sang Penebus -- memiliki kesejajaran dengan makna "Natal dan Tahun Baru" yang hidup dalam masyarakat Batak Kristiani masa kini.
Natal bagi umat Kristiani Batak adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Sedangkan Tahun Baru dirayakan sebagai "fajar harapan baru". Â Bukan disimbolkan padi berbunga (Maret), tapi padi mulai tumbuh menghijau di hamparan sawah. Desember adalah masa tanam padi.
Di hari Natal umat Kristiani Batak menyampaikan syukur atas kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus, Juru Selamat manusia dari dosa. Esensi Natal itu adalah penemuan "jalan lain" atau "jalan baru yang lebih baik" sebagai buah perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus.
Komitmen untuk menempuh "jalan baru", jalur lain yang beda dengan "jalan lama" (tahun lama), dinyatakan pada malam Tahun Baru. Tepatnya pada momen peralihan taon naburuk, tahun lama  ke taon naimbaru, tahun baru. Ditandai oleh dentang lonceng gereja, sebagai maklumat pergantian tahun.
Komitmen itu dinyatakan orang Batak dengan dua bentuk rekonsiliasi di malam tahun baru.Â
Pertama, rekonsiliasi teologis, mengakui dan menyesali segala dosa atau kesalahan setahun lalu di hadapan Tuhan. Lalu berjanji untuk mengubah cara hidup di tahun mendatang.  Meninggalkan dalan naburuk,  "jalan lama" untuk kemudian  menempuh dalan naimbaru, "jalan baru".
Kedua, rekonsialisasi sosiologis, mengakui dan menyesali segala kesalahan dan kelemahan diri setahun lalu di hadapan keluarga. Lalu berjanji memperbaiki perilaku di tahun yang baru, dalam interaksi dan komunikasi dengan anggota keluarga. Meninggalkan keburukan dengan berlalunya tahun lama, menapaki kebaikan di tahun yang baru.
Rekonsiliasi sosiologis semacam itu dikenal sebagai tradisi mandok hata, menyampaikan perkataan, di malam Tahun Baru. Prakteknya, tepat pukul 00.00 seluruh anggota keluarga besar duduk melingkar di ruang tengah rumah. Kepala keluarga lalu memimpin doa syukur, dilanjutkan dengan acara mandok hata. Nanti ditutup dengan nasihat kepala keluarga, lalu doa rekonsiliasi dan pengharapan akan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.
Tradisi mandok hata itu semacam praktek demokrasi dalam keluarga Batak. Setiap anggota keluarga, lazimnya dimulai dari yang tertua, menyampaikan evaluasi diri. Mengakui kesalahan dan kelalaian, dalam perbuatan dan perkataan, Â dalam interaksi setahun dengan anggota keluarga lainnya. Termasuk di sini menumpahkan segala unek-unek. Pengakuan itu ditutup dengan permintaan maaf dan janji untuk memperbaiki diri pada tahun yang baru.
Begitulah orang Batak melakukan rekonsiliasi teologis dan sosiologis setiap tahun. Suatu proses yang secara manifes tampak sebagai rangkaian perataan Natal dan Tahun Baru.Â