Licentia poetica. Itu senjata utama penyair, atau pujangga, atau ... sebut saja nama lain untuk seseorang yang harumnya serupa.
Dengan senjata licentia poetica, penyair punya kemerdekaan membekuk dan menekuk kata dan klausa, demi meringkus keindahan puitis.Â
Bahwa makna kata dan klausa jadi berubah atau malah ambigu, itu bodohnya pembacalah yang mesti dikambing-hitamkan.
Ini bicara puisi. Kau perlu menyetel ulang perimbangan otak rasional dan otak emosionalmu bila membaca puisi.Â
Bila tidak, maka bisa jadi semua puisi menjadi terlalu indah bagimu. Atau sebaliknya, segala tak bermakna.Â
Itu yang kulakukan saat membaca puisi-puisi anggitan kompasianer. Menyetel ulang otakku, lagi dan lagi.
Tapi dasar kenthir bawaan orok, otakku rupanya tak selalu manut distel ulang. Ada kalanya kenthir membajak, lalu ngakak saat baca puisi.
Ngakak, serius ngakak. Mestinya, maksud penganggit puisi untuk mencipta keindahan puitik. Tapi otak rasionalku terlalu maju, menemukan ketaklogisan kocak, lalu otak emosional meletupkan tawa. Hahaha (lebay tealala).
Setidaknya itu yang pernah kualami saat membaca puisi-puisi Ayu Diahastuti dan Lilik Fatimah. Dua kompasioner pemuisi favoritku.Â
Ah, bukan. Bukan benar-benar favoritku. Tapi favorit Ayah Tuah. Sebab dia pernah menganggit puisi indah untuk masing-masing pemuisi itu. Motifnya, ... eng ... anu.
***
Ah, lupakan Ayah Tuah. Dia terlalu romantis untuk perempuan realistis. :D
Mari kita bicara tentang dua puisi yang sukses bikin aku ngakak guling-guling.
Ini yang pertama. Coba simak selarik dari puisi "Puisi Kita Sore Lalu" (K. 29.11.2022) anggitan Ayu Diahastuti ini:
"Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik."Â
Indah, puitis banget, kan?Â
Tapi aku ngakak pas baca frasa "punggung kabel listrik". Sebab adakah seutas benda semacam tali punya punggung?
Kabel listrik hanya bisa punya punggung sejauh dia dibayangkan sebagai ular yang punya punggung. Sebab dia vertebrata.
Beda dengan cacing. Walau bentuk tubuhnya bulat panjang macam ular, dia moluska, avertebrata. Jadi gak punya punggung.
Jadi kamu tahu sekarang kenapa aku ngakak baca larik itu, kan? Karena aku membayangkan burung-burung gereja bertengger di punggung ular merentang. Itu ibarat rusa berbaring di punggung singa.
Lagi. Simak dua larik puisi "Tentang Lelaki Berbahaya" (K. 29.12.2022) anggitan Lilik Fatimah Azzahra ini:
"Kucari ia di setiap sudut rumah. Di dapur, di lubang sumur, di kolong tempat tidur."
Indah dan puitis juga, kan?
Tapi, tak urung, aku ngakak juga saat baca frasa "lubang sumur". Kenapa?
Pasalnya sumur itu adalah lubang vertikal ke dalam tanah. Â Fungsinya untuk menarik air atau minyak dari dalam tanah.
Frasa "lubang sumur" itu memicu imajinasiku tentang sebuah sumur yang berlubang. Gimana caranya ada lubang dalam lubang, sih?
Embuhlah. Mungkin lebih baik membayangkan sumur bocor. Seperti ember yang berlubang di dasarnya. Bocor.
Dan kata "bocor" mengingatkanku pada seorang Capres 2017 yang gandrung bilang "Bocor, bocor, bocor!" Â Mustahil dia "lelaki berbahaya" dalam puisi Lilik Fatimah, bukan? Â Atau diakah yang dicarinya sampai ke lubang sumur? :D
Kalau kamu tak ketawa, berarti selera humormu terlalu tinggi. Kalau bukan terlalu rendah.
***
Punggung kabel listrik.
Lubang sumur.
Ah, alangka lucunya licentia poetica. Â Diciptakan dia bagi para pujangga, guna menciptakan kata-kata kocak dalam rangkaian kata-kata indah. Â
Tapi kalau dipikir-pikir, keterlaluan juga frasa "punggung kabel listrik" dan "lubang sumur" itu. Â Tidakkah itu menabrak logika? Atau , sekurangnya, Â hoaks puitis?
Tapi sudahlah. Â Jangan kau sentuh punggung kabel listrik di lubang sumur. Â Nanti jari kakimu tertusuk duri.
Lha, apa hubungannya? Â Embuh! Â Pokoke, licentia poetica. Â Apelo! Â (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H