Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

[World Cup Qentir #04] Tim-tim Asia Mematahkan Supremasi Eropa dan Amerika

25 November 2022   21:57 Diperbarui: 6 Desember 2022   07:18 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya berharap bahwa akan menjadi kenyataan bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu bahwa Asia baru dan Afrika baru telah lahir!" -Soekarno, Konferensi Asia-Afrika 1955

Soekarno pasti tertawa bahagia dari "atas" sana menyaksikan Arab Saudi mencukur Argentina (2-1) dan, kemudian, Jepang mrnggunduli Jerman (2-1) di ajang Piala Dunia 2022 Qatar.

Kemenangan itu bisa dimaknai sebagai lahirnya Asia-Afrika baru dalam dunia persepakbolaan. 

Tapi terutama lahirnya Asia yang baru. Sebab Afrika baru sebenarnya sudah lahir lebih dulu pada Piala Duni 1990. Waktu itu Kamerun mematahkan dominasi Eropa-Amerika dengan melaju ke babak perempat-final. 

Asia baru yang dimaksud adalah Asia dengan kinerja sepakbola yang mengimbangi sepakbola Eropa dan Amerika Selatan khususnya. Terindikasi dari parahnya dominasi negara-negara di dua benua itu sepanjang sejarah.

Sudah lazim diterima fakta Juara Dunia Sepakbola hanya semacam arisan antara negara-negara Eropa dan Amerika Selatan. Juaranya sejak 1930 sampai 2018 adalah Brasil (5 kali) Italia (4), Jerman (4), Uruguay (2), Argentina (2), Perancis (2), Inggris (1), dan Spanyol (1).

Tak ada Juara Dunia dari Asia-Afrika. Bahkan sekadar juara kedua juga tak pernah. Bahkan tidak semifinalis.

Untuk waktu yang lama, struktur persepakbolaan dunia mengikuti pola pusat-pinggiran (center-periphery). Eropa-Amerika (termasuk Rusia) adalah pusat, benua sepakbola maju. Asia-Afrika adalah pinggiran, benua sepakbola sedang berkembang atau terbelakang.

Piala Dunia dengan demikian bukan terutama gejala sosial-budaya, tapi ekonomi dan politik, atau politik-ekonomi (political economi).  Petama-tama dia adalah bisnis kapitalistik, perburuan surplus. Lalu politik untuk memfasilitasi tujuan-tujuan kapitalistik itu.

Itu menjelaskan diskriminasi negara-negara Asia-Afrika, umumnya sepakbolanya sedang berkembang (developing) atau terbelakang (underdevelopment), oleh FIFA dalam gelaran Piala Dunia. Selalu lebih banyak wakil dari negara-negara benua Eropa dan Amerika yang sepakbolanya maju.

Alasannya, kualitas tim-tim Asia-Afrika terlalu rendah untuk standar Piala Dunia. Tak menjual.  Penonton tak sudi datang ke stadion untuk menonton pertandingan yang buruk. Itu artinya kerugian bisnis kapitalistik Puala Dunia.

Ada korelasi antara kapital dan kemajuan sepakbola. Sebab sepakbola modern sudah menjadi industri kapitalistik. Ada modal yang digelontorkan untuk investasi pemain, kesehatan,  teknologi, riset, edikadi, stadion, dan lain-lain.  Investasi itu harus menghasilkan pendapatan dan surplus. 

Investasi kapitalistik semacam itu terpusat terutama di negara-negara Eropa. Ke sanalah pemain-pemain berbakat terutama dari Afrika dan Amerika Selatan merumput sebagai pemain bayaran. Kemudian juga dari Jepang dan Korea Selatan yang sepakbolanya berkembang pesat seiring kemajuan ekonomi kapitalis di sana.

Tapi dalam dekade terakhit Asia-Afrika telah membangun sepakbolanya dengan merujuk Eropa dan Amerika. Ada sedikitnya lima sumber belajar yang dioptimalkan. Membayar pelatih asal Eropa-Amerika, mengekspor pemain ke tim-tim Eropa, naturalisasi pemain Eropa-Anerika, latih-tanding ke Eropa, dan pertandingan persahabatan.

Hasilnya. Jelas terlihat dalam gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar. Arab Saudi membabat juara dunia dua kali Argentina 2-1. Jepang mencukur juara dunia empat kali Jerman 2-1. Dan yang paling dramatis, Iran yang kalah 2-6 dari Inggris, balas mempecundangi Wales 2-0 di menit-menit akhir injury time. 

Sebenarnya Korsel juga pantas disebut. Sukses menahan imbang 0-0 juara dunia dua kali Uruguay.

Jika melihat kualitas permainan Arab Saudi, Jepang, Iran, dan Korsel serta wakil-wakil Afrika, tak mustahil babak perempat-final akan diisi negara dari empat benua -- Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika (Selatan). Bahkan mungkin juga semi-final akan mempertemukan wakil dari empat benua itu.

Jika itu terjadi, maka era supremasi sepakbola Eropa-Amerika telah berakhir. Tidak ada lagi struktur pusat-pinggiran yang diskriminatif dalam sepakbola dunia.

Mudah-mudahan itu bukan mimpi kosong yang dipicu eforia kemenangan Arab Saudi, Jepang, dan Iran. 

Ngomong-ngomong, Indonesia kok gak nongol di Qatar, ya. (eFTe)

*Ralat: Pada Piala Dunia 2002 Korsel tembus ke semifinal dan menduduki peringkat 4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun