Tak satupun novel Dee Lestari yang pernah kubaca. Â Tak satupun. Â Jujur.
Aku ingat beberapa judul. Supernova, Perahu Kertas, dan Filosofi Kopi. Â Karena menjadi perbincangan hangat. Â Tapi tak satupun pernah kubaca. Â Hanya ingat sampul depannya.
Bukan karena aku tak suka baca novel. Bukan. Aku baca sejumlah novel klasik. Juga novel-novel anggitan penulis berbagai negara. Penerbit Yayasan Obor Indonesia menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.
Tapi novel-novel (Dewi) Dee Lestari? Â
Ah, dulu aku lebih suka mendengar lagu-lagunya bersama Rida dan Sita dalam grup Rida-Sita-Dewi (RSD). Â Antara Kita, itu yang paling aku ingat. Â Dulu, ya. Â Sekarang sudah lupa. Â Karena usia sudah irrelevan.
Tentu aku tahu dia kini seorang penulis besar. Â Dalam arti punya otak yang tak sekadar logis, etis, dan estetis. Â Tapi terutama intuitif dan imajinatif.
Itu kusimpulkan dari hasil nguping diskusi orang. Bukan karena aku membaca novel-novelnya.
Awalnya aku tak tertarik pada undangan GP Mettasik untuk bergabung dalam webinar yang menampilkan Dee Lestari sebagai pembicara. Â Bukan tak tertarik pada Dee Lestari. Â Tapi judul webinarnya, "Dee Lestari Berbagi Tips Menulis Populer".
Hei! Tips lagi, tips lagi. Â Yang benar itu "tip".
"Berbagi tip menulis populer?" Aku alergi berat pada kalimat atau frasa itu. Â Karena beberapa alasan idiologis, atau paradigmatik, atau mazhab, atau apapun namanya.