Istilah lain untuk ide, pikiran, itu adalah karunia talenta.
Pilihannya kemudian terpulang pada diriku sebagai pemilik talenta titipan Sang Khalik. Apakah aku akan menguburnya? Membiarkannya tak terpakai? Atau mengembangkannya?
Dari tuturan Dee aku belajar, seseorang mustahil bisa menjadi penulis bila malas menyadari ide bawaan dalam dirinya dan atau malas mengembangkannya.
Jadi soal menulis adalah perkara memerangi kemalasan berpikir.
Kedua, soal kata. Menurut Dee, kata adalah peluru yang ditembakkan ke benak pembaca.
Ah, jika kata adalah peluru, maka bagaimana dia dapat memikat dan mengikat pembaca? Bukankah dia akan membunuh pembaca? Membuyarkan isi benaknya?
Tentu, itu hanya sebuah metafora.
Aku tetap belajar. Setiap kata penulis haruslah jadi peluru cinta untuk pembaca. Semacam anak panah Cupid, putra Aphrodite, Sang Dewi Cinta -- bukan Dewi Lestari, eh.
Bila setiap kata adalah peluru cinta, maka setiap kata akan memikat dan mengikat pembaca. Membuat mereka mabuk cinta pada tulisanmu. Mereguknya tuntas sejak kata pertama sampai kata terakhir.
Bukankah begitu rasa hatimu saat jatuh cinta?
Ketiga, soal imajinasi. Beda dengan Dee, bagiku imajinasi bukan unsur proses kreatif dalam menulis. Atau sekadar manfaat menulis. Bukan.